Hello E(t)her
Langit biru, bergelar megah mengelilingi sang kanvas milik pencipta semesta. Ditemani oleh para gulungan awan manis bak permen kapas, bermain-main di atas panggung megah di atas sana. Bergerak gemulai, menyajikan pertunjukan indah di panggung semesta, dan membuat sang matahari tersenyum senang melihatnya.
Seorang laki-laki, berambut coklat dengan beberapa helai pirang, berjalan riang dengan tas besar di punggungnya. Rambut kuacinya, meloncat-loncat mengikuti irama nyanyian rendahnya. Kedua tangannya, memeluk satu benda yang menjadi alasan senyumnya terus mengembang sepanjang jalan.
“Terry!!!”
Seseorang dengan kursi roda di depan jendela, menoleh ke sumber suara.
“Ah, Ben? Cepat sekali datangnya?”
Ben, laki-laki rambut kuaci itu tak menjawab Terry dan memilih berlari kecil ke arahnya.
“Ngerasain sesuatu nggak?” Tanya Ben antusias.
Terry diam, kemudian senyumnya hadir tipis menghiasi wajah pucatnya.
“Hari ini langit cerah? Aku bisa denger suara burung-burung di luar”
Ben menjentikkan jarinya, “Benar!! Aku akan memberimu nilai seratus!”
Terry tertawa. Sepertinya dalam satu hari ini, baru kali ini dia tertawa. Dan satu fakta yang harus kalian ketahui, jika laki-laki manis dan dingin itu, buta. Terry hanya bisa mendengar dan merasakan melakukan telinganya, walaupun tak cukup peka. Tetapi Ben sangat membantunya selama ini.
“Aku ingin mendengar ceritamu tentang langit hari ini!!”
Ben terkekeh saat melihat laki-laki itu bersemangat sekali, menuntut cerita tentang langit. Ben mengacak kecil rambut Terry, kemudian membuka suaranya.
“Langit hari ini berwarna biru cerah!! Ada beberapa awan putih juga yang menemaninya!!”
Ukiran senyum Terry, tergambar jelas di wajahnya.
“Beneran?!”
Ben mengangguk, “Kamu inget? Bentuk awan yang mirip permen kapas?”
Terry mengangguk antusias, “Apa awan permen kapas bersama langit biru hari ini?!”
Ben tertawa, “Benar!!”
Terry tiba-tiba menggerutu. Ben menatap bingung laki-laki di depannya itu.
“Aku ingin melihat langit lagi, pasti indah!!”
Ben hampir lupa dengan benda di pelukannya.
“Aish! Aku hampir lupa!!”
Ben menepuk keningnya. Tangannya dengan cekatan membuka bungkusan di pelukannya, kemudian meletakkan sesuatu di pangkuan Terry. Terry memiringkan kepalanya, bingung.
“Apa ini?”
“Aku mencetak foto langit dan coba rasain permukaannya!! Kamu bisa melihat langit lagi dengan cukup menyentuhnya!!”
Terry terkejut. Dia langsung meraba sebuah kertas tebal di pangkuannya. Tangannya bergetar. Setelah tiga belas tahun penglihatannya menggelap, dia bisa melihat langit kembali hanya dengan sebuah sentuhan. Bagaimana bisa?
Satu air mata, berhasil lolos melewati permukaan pipi pucat itu. Ben dengan cekatan mengusap pipi laki-laki di depannya itu, lalu melayangkan senyumannya.
“Gimana bisa kamu nangis? Sedangkan langit sedang bahagia?”
Terry tersenyum kecil. Tangan kirinya mengusap air matanya yang masih mengalir, kemudian meraba tangan mungil seseorang di depannya.
“Terima kasih, Ben? Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot membeli barang ini. Pasti mahal”
Ben menggelengkan kepalanya.
“Itu nggak mahal! Hanya sedikit menguras gaji part time ku bulan ini aja HAHAHA bercanda!!”
Terry menghela, “Kan! Pasti kamu menghabiskan banyak uang!”
“Ish!! Anggap aja itu hadiah ulang tahun mu yang terlewat bulan lalu, karna kamu tidak mau ku traktir ramen hari itu. Padahal cuaca hari itu benar-benar bagus!” Dengus Ben.
“Jika kamu lupa, hari itu ada jadwal aku cuci darah, tuan Choi”
Ben memutar bola matanya, “Alasan. Dahlah, aku harus melakukan part time. Nanti malam aku akan kembali!!”
Ben menepuk pelan bahu Terry. Terry mengangguk. Tangannya melambaikan tangan ke arah menjauhnya suara langkah kaki laki-laki itu. Senyumnya perlahan memudar saat suara pintu terdengar tertutup. Terry menarik napasnya panjang. Tangannya meraba sesuatu di depannya, kemudian menariknya. Suara langit yang terlalu lama didengar, membuatnya sakit kepala. Terry suka, walaupun menyakitkan. Sama seperti jatuh hati dengan Ben, dia menyukainya namun terlalu sakit.
Ben berjalan santai memasuki area rumah sakit. Dia berulang kali membuka suaranya, menyapa beberapa perawat maupun dokter yang sudah sangat dia kenal, dan juga sebaliknya.
Bagaimana mereka tidak mengenal Ben, sosok laki-laki yang sudah bertahun-tahun menemani pasien tetap di sini. Dan selalu datang setiap hari, dengan sedikit kelakuan ajaibnya yang membuat keributan seisi koridor.
“Sudah datang?”
Ben cukup terkejut saat mendengar Terry langsung sadar kehadirannya, padahal dia membuka pintu dengan sangat pelan, berniat mengejutkan Terry, namun gagal.
“Kok tau?”
Terry berdehem, “Siapapun akan tau jika Ben Choi datang, karena selalu ada keributan di luar”
Ben mendengar, “Kamu nggak asik!!”
Ben menghentakkan kakinya ke arah sofa sebelah ranjang Terry. Terry hanya menggelengkan kepalanya. Memilih fokus kembali ke buku dengan huruf braille di pangkuannya.
Ben menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Pandangannya juga ikut jatuh ke sosok manis di balik piyama biru, yang sibuk dengan bukunya. Ben tersenyum. Terry selalu menjadi hal terindah dalam bagian bab takdirnya. Pertemuan singkat bocah enam tahun, tenyata berlangsung lama sampai sekarang. Ben bahkan tidak menyangka bisa jatuh terlalu jauh ke bocah ingusan dengan sepeda merahnya dulu. Tetapi pertemuan singkat indah itu hanya berlangsung sebentar, sebelum kecelakaan itu terjadi dan merenggut semua senyum laki-laki manis itu.
“Kadang aku suka inget hari waktu kamu nangis karna aku kehilangan penglihatan”
Ben menoleh ke Terry, kemudian tertawa kecil.
“Ya gimana nggak nangis? Aku makin kejer aja pas kamu malah nepuk-nepuk bahuku, kayak nggak ngerasain sakitnya”
Terry tersenyum, “Kamu tau kan? Sejak hari itu aku kehilangan penglihatan sekaligus kehilangan rasa sakit?”
Ben berdehem, “Tau. Tapi sampe sekarang sedikit pun kamu belum bisa ngerasain?”
“Bisa. Sedikit? Hanya sakit kepala, beberapa kali”
Jawaban Terry, sontak membuat Ben berlari ke arah ranjang Terry.
“Masih sakit?”
Terry menggeleng, “Tidak sesakit itu. Kamu tidak perlu khawatir. Mungkin efek bergadang?”
Ben mendengus, “Ayolah! Berhentilah membaca buku yang sudah beribu kali kamu baca! Istirahatlah! Aku sampai bosan melihat cover buku itu!!”
“Satu kali lagi? Hanya tersisa lima halaman”
Ben melirik jemari Terry yang meraba, menghitung jumlah halaman yang tersisa. Ben menghela napasnya panjang.
“Aku tadi denger dari dokter, katanya kamu besok operasi donor ginjal? Kenapa nggak bilang dulu? Beneran cocok emangnya?!”
Terry bisa merasakan atmosfer di sebelahnya memanas.
“Aku udah siap, Ben. Lagipun, keputusan tetap ada ditangan bunda dan ayah walaupun kamu menolak”
Ben menghela, “Tapi kan bisa ngomong aku dulu?!”
Terry menggeleng. Tangannya meraba tempat sebelahnya, berusaha menggenggam tangan laki-laki yang tengah emosi itu. Ben mengusap wajahnya. Memilih menarik tangan Terry, lalu mendekapnya.
Keduanya memilih sama-sama terdiam, dalam dekapan sang waktu. Terry tersenyum tipis saat merasakan deruan napas kesal dari Ben. Siapapun akan kesal jika orang terdekatnya, tiba-tiba membuat keputusan mendadak seperti ini.
“Biarin aku berjuang sekali lagi ya?”
Terry mengusap pelan rambut lembut Ben. Ben hanya menghela napasnya, masih tak menjawab.
“Ben? Ini usaha terakhir ku. Aku sudah menyerah sejak tahun lalu, tetapi kamu selalu bilang akan ada pendonor yang pas buat aku, dan hari itu tiba. Aku udah mikirin ini lama, mungkin sebulan lalu? Bertepatan saat kamu mulai ambis belajar untuk ujian ke universitas. Aku tidak ingin mengganggumu. Besok juga akan menjadi hari perjuangan bagi aku dan kamu. Aku akan berjuang di sini, dan kamu juga berjuang dengan mimpimu. Jadi boleh izinkan aku besok?”
Ben menarik napasnya. Dekapannya semakin erat, memeluk hangat tubuh Terry yang kian kurus. Terry tersenyum. Menikmati setiap serat hangat yang disalurkan Ben. Dia cukup senang, setidaknya sebelum hari esok tiba. Dan mungkin saja merubah takdir keduanya.
“Aku nggak mau egois, dan biarin kamu bertahan sama rasa sakit itu. Besok hari kamu berjuang. Aku juga besok ada tes universitas. Aku harap kamu bisa bertahan, maka aku juga...”
Terry tersenyum, “Semangat! Aku yakin kamu bisa”
Ben mengangguk. Tangannya mengusap pelan rambut hitam Terry yang mulai menipis, berguguran seperti dedaunan musim semi. Hanya saja rambut Terry gugur saat musim semi..
“Kamu juga. Aku harus dapet kabar baik setelah ujian!”
“Aku juga harus dapet kabar baik setelah ke luar ruang operasi!!”
Keduanya tertawa. Berbagi kisah disepanjang sang rembulan memimpin, dan bertahan di tahtanya. Sang rembulan diam-diam mendengar lirihan mencekik harapan keduanya. Rembulan melirik ke sang bintang yang hanya memancarkan senyum tipisnya. Hanya sang pencipta semesta yang tau, takdir keduanya di masa depan.
Ben berlari ke arah gedung ujian. Dia hampir terlambat, karena jam bekernya mati. Ben sampai tak habis-habis melayangkan sumpah serapahnya ke jam beker tua itu. Untung saja dia terbangun saat tetangganya mengetuk pintu untuk meminjam panci. Jika tidak, kemungkinan besar dia tidak mengikuti ujian hari ini. Ben menarik napasnya lega saat sampai di ruang ujian tepat waktu, walaupun dengan keringat yang memenuhi wajahnya.
Kepala Ben langsung pusing saat melihat beberapa lembaran soal. Dia menghela napas. Dia tidak menyangka akan sebanyak ini. Ben menyatukan kedua tangannya, meminta sesuatu keajaiban terjadi kepadanya. Setelah Ben selesai berdoa, dia langsung membuka kertas jawaban dan mulai menjawabnya.
Dentingan jam berjalan sesuai garis hitam jelas. Ben memiringkan kepalanya, bingung saat membaca beberapa soal terakhir. Kepalanya sudah sepenuhnya berputar, seperti jarum jam. Sepertinya, otaknya mengikuti pergerakan jam karena membaca soalan rumit ini. Dia bisa saja mendadak menjadi gila karena ini.
Baru saja hendak menjawab, tiba-tiba jantungnya terasa berhenti berdetak selama sedetik. Ben panik. Dia langsung menarik napas kuat dan mencoba menormalkan napasnya. Ben memegang kepalanya. Tangan satunya memegang kuat-kuat dadanya. Perasaannya tidak enak.
Ben baru mendapatkan ponselnya kembali, saat ke luar dari ruangan ujian. Ben menggaruk kepalanya, bingung saat melihat panggilan tak terjawab beruntun dari bunda Terry. Baru saja ingin menelepon balik bunda, tiba-tiba seseorang menabraknya sampai ponselnya terpental dan berciuman langsung dengan lantai.
“Ah! Maaf!! Kamu gapapa?”
Ben mengangguk. Tangannya mengambil ponselnya di lantai, dan mencoba menyalakannya tetapi gagal.
“Hp kamu mati? Ahh maaf!!”
Ben mengangguk, “Nggak papa. Emang hp tua”
“Maaf ya? Aku ga sengaja, buru-buru karena papa udah jemput”
“Nggak masalah. Aku pulang dulu!”
Ben langsung meninggalkan orang yang tadi menabraknya. Perasaannya tiba-tiba terasa tidak enak lagi, apalagi ponselnya mati dan otomatis dia tidak bisa menghubungi bunda. Ada apa ya?
Ben berdecak saat melihat jadwal bus tenyata sudah terlewat beberapa menit sebelum dia sampai. Masih ada jadwal satu bus lagi sekitar lima belas menit lagi. Ben memilih duduk di halte, sambil menunggu bus datang. Jika dia mempunyai cukup uang, dia akan membayar taksi, hanya saja dia tidak mempunyai uang yang banyak.
Ben mengetuk-ngetuk ponselnya yang mati total. Ben menghela napas. Butuh biaya yang lumayan besar untuk membetulkan ponselnya, apalagi dia hanya mendapatkan setengah gaji karena bekerja part time. Ben harus berhemat untuk membuat ponselnya menyala kembali.
Langit siang menuju sore ini, terlihat cukup hangat. Rona biru, bercampur rona oranye yang mulai muncul di ufuk barat, membuat semburat kilauan indah bak berlian di tahta semesta. Ben tersenyum melihatnya. Andai saja Terry di sini, dengan kondisi tiga belas tahun lalu, mungkin laki-laki itu akan menjerit bahagia melihat lukisan indah di kanvas semesta seperti ini. Tetapi itu hanya khayalan Ben, lagi.
“Permisi?”
Ben terkejut saat seseorang berdiri di depannya. Ben bisa melihat wanita sekitar berkepala enam, tengah mengangkat satu keranjang berat di tangannya.
“Ah, iya?”
Ben langsung berdiri dari duduknya. Dia harus menghormati wanita yang jauh dari umurnya itu.
“Saya berjualan bunga Lily. Apa kamu mau?”
Ben melihat keranjang nenek itu yang penuh dengan bunga Lily putih. Ben mengigit bibirnya. Jujur saja, uang di kantungnya hanya tersisa untuk naik bus dan juga berbelanja beberapa makanan yang habis di rumah. Tetapi sepertinya wanita di depannya lebih membutuhkannya. Ben mungkin bisa berpuasa selama sisa akhir bulan ini, tetapi tidak dengan nenek itu.
“Nek? Saya beli semua ya bunganya?” Tawar Ben.
Wanita itu cukup terkejut, “Sungguh?”
Ben mengangguk dengan senyumannya. Nenek itu langsung meneteskan air matanya.
“Puji Tuhan, terima kasih!”
Ben tersenyum, lalu mengambil alih bunga-bunga di keranjang nenek itu.
“Saya harap, bunga ini bisa kembali menenangkan jiwa suci seperti kamu”
Ben tersenyum kecil walaupun tak paham makna dari perkataan nenek itu.
“Sekali lagi terima kasih ya, nak? Nenek berterima kasih sekali karena hari ini bisa makan”
Ben mengangguk, “Sama-sama. Nenek pulangnya hati-hati!!”
Nenek itu mengangguk, kemudian berjalan pelan meninggalkan halte.
Ben menarik napasnya. Melihat beberapa tangkai bunga Lily yang masih cukup segar di keranjang. Senyumnya sedikit naik. Teringat dengan Terry, laki-laki itu sangat menyukai bunga Lily putih. Ben akan memberikan bunga-bunga ini ke Terry. Pasti laki-laki itu senang jika ke luar dari ruang operasi disambut dengan keranjang penuh bunga Lily seperti ini.
Sekitar sepuluh menit, bus datang. Ben dengan cepat menaiki bus dengan keranjang bunganya, yang mengarah langsung ke halte tak jauh dari posisi rumah sakit tempat Terry dirawat. Ben sudah siap memberikan sambatan ke laki-laki itu karena soal ujian yang sangat susah, tetapi sepertinya sebuah takdir putih menahannya.
Ben berhenti tepat di depan ruang operasi Terry, yang diberitahukan salah satu suster penjaga Terry. Tetapi bukan itu yang membuat langkahnya terhenti. Di sana, terlihat bunda yang berderai air mata berada di pelukan ayah Terry. Bahkan dokter masih ada di sana, melihatnya dengan tatapan sulit diartikan.
“I-ini ada apa?”
Dokter menghela napas, “Maaf, Ben. Sekali lagi saya meminta maaf. Operasi donor ginjal ke pasien Terry Kang, gagal. Dan Terry Kang sudah kembali ke pangkuan Tuhan pada pukul 3.49 sore, karena gagal melalui masa kritisnya. Saya memohon maaf, tetapi Tuhan lebih menyayangi Terry kami....”
Jantung Ben benar-benar seperti berhenti berdetak. Matanya mulai terisi air tanpa perintah, dan menetes tanpa persetujuan melewati pipi tirusnya. Keranjang penuh bunga Lily di tangannya, sampai tak kuat lagi dia tahan. Tubuhnya ambruk ke bawah, dan mempertemukan lutut dan juga kerasnya lantai dingin.
“Nggak! Nggak mungkin!!”
Ben menarik rambut panjangnya. Isakan tangis penuh pedih, terdengar memenuhi seisi koridor. Rintihan penuh sesak, mengisi ruang di dadanya. Ben memukul kepalanya. Rasa sakit fisiknya, tidak akan pernah bisa menggantikan sakit di dalam dadanya. Terry sudah berjanji akan memberinya kabar baik, jadi dimana letak kabar baik itu? Terry pembohong.
Ben benar-benar tidak menyangka. Bagaimana bisa bunga Lily ini menjadi tanda kepergiannya. Bahkan sang surya hanya menutup mulut dan mengantarkannya pergi tanpa mengucapkan satu pun kata perpisahan kepadanya? Laki-laki itu hanya memikirkan dirinya sendiri, dan pergi tanpa seizinnya. Terry sangat egois.
Deretan bunga-bunga Lily, berjajar rapi mengisi udara hampa di atas gundukan tanah basah di depan. Ben menatap batu dengan ukiran indah nama seseorang yang berusaha dia jaga selama ini, tetapi malah laki-laki itu yang memilih jalan egoisnya sendiri dan pergi meninggalkannya tanpa berpamitan.
“Terry? Lo jahat. Nggak usah marah kalo gue balik gini lagi, semuanya salah lo!”
Ben mengigit bibir bawahnya yang sudah perih. Menahan kuat rasa sakit yang sudah tak lagi terbendung.
“Lo bilang bakal nerima cinta gue kalo sembuh. Lo janji bakal semangat terus berjuang buat sembuh, tapi kenyataannya apa?”
Ben terkekeh, “Lo malah ninggalin gue. Sesakit itu ya rasa sakit yang lo sembunyiin dari gue? Dan malah nyerah sendiri? Kenapa nggak limpahin semua ke gue aja sih?!!!”
Ben menunduk. Tak lagi kuat menahan semua di pundaknya, sendiri.
“Terry, gue di sini bukan berperan jadi sahabat lo doang, tapi sebagai seseorang yang rela ngelakuin apa aja buat lo sembuh, tetapi lo malah seenaknya nyerah! Emang gue izinin lo nyerah hah?!!”
Ben mengusap kasar air matanya. Isakan tangisnya benar-benar terdengar pedih, dengan iringan gerimis tipis yang mulai menjatuhkan dirinya ke bumi. Langit tau, jiwa rapuh itu sudah jatuh di titik terdalam.
“Langit plin plan banget. Kemarin waktu lo pergi, matahari dengan semangatnya nganterin lo pulang, kenapa sekarang tiba-tiba hujan? Apa karena lo yang suruh langit nurunin air? Jangan sok deh!!”
Ben menarik napasnya. Memilih berdiri dari duduknya, kemudian kembali menatap lekat batu nisan di sana.
“Terry, asal lo tau gue bukan orang pembohong kayak lo. Gue di sini bawa kabar baik, gue keterima di universitas impian gue! Lo seneng kan pasti?!”
Ben tersenyum miris, “Lo dulu yang paling maksa gue kuliah di sana. Tetapi sekarang lo pergi, padahal pasti keren plus ganteng kalo liat gue pake jas almamater kampus haha”
Ben mengusap air matanya. Mendongakkan kepalanya, menahan air agar tidak lagi membasahi pipinya.
“Maaf”
Ben mengigit kuat bibir bawahnya, sampai rasa anyir mengisi rongga mulutnya.
“Aku hanya akan menyampaikan berita baik, nggak kayak kamu. Kamu pembohong. Aku sangat benci pembohong. Tetapi sepertinya aku nggak akan pernah bisa membencimu”
Ben tersenyum tipis, “Aku pergi. Aku tidak membencimu, tetapi aku juga tidak bisa memaafkanmu. Kamu egois, Terry”
Takdir tak akan pernah lagi berpihak pada Ben. Hanya kilasan adegan mencekik napasnya, yang berputar seperti kaset rusak di dalam otak. Ringkasan memori indah, serta janji-janji manis terus berputar. Berputar seperti kincir angin yang tidak tau kapan waktu akan berhentinya, tergantung kekuasaan sang pengatur benda semesta.
"Terry, aku pernah bercerita tentang langit biru kan?! Wah benar-benar indah!!!"
"Ayo ceritakan lebih banyak tentang langit hari ini!! Aku ingin mendengarnya!!!"
"Hari ini muncul pelangi! Harusnya kamu mau menerima ajakanku untuk keluar dan makan ramen bersama! Sampai bunda Son marah HAHAHA!!"
"Dasar bodoh! Kamu mengajakku keluar saat ada jadwal? Dasar rambut kuaci gila!!"
Seiring berputarnya memori kenangan manis menyakitkan, bersamaan dengan kayuhan sepeda Ben yang kian cepat. Deraian air mata bahkan tak lagi dapat Ben tahan. Ben semakin mempercepat goesan pada pedal sepedanya, sampai angin berusaha menghentikannya.
Suara keras dan nyaring hadir, disusul dengan Ben yang terpental dari sepeda, menjadi pertanda ulah sang angin yang kesal. Angin marah, dan hanya mendapatkan respon tawa dari laki-laki itu. Matanya berbinar melihat langit biru di atasnya, dengan kilatan air mata yang mulai memenuhi kelopak matanya.
“Harusnya kamu bisa lihat keindahan langit, bukannya itu kesukaan mu? Langit hari ini indah banget!! Harusnya kamu di sini, kenapa kamu pergi menemui sang pencipta langit terlebih dahulu, sebelum menatap kanvas indah ciptaan-Nya? Kamu egois dan menyerah begitu saja, tanpa berpamitan denganku. Kamu jahat..”
Air mata tak lagi tertahan. Suara isakan, bercampur dengan suara tawa membuat Ben membuat ruangan pedihnya sendiri.
“Seharusnya matahari bisa menahan mu untuk tetap di sini, tetapi mengapa matahari malah mengantarkan kamu pergi?”
Suara tawa Ben, seperti menjadi alunan musik pedih yang menyesakkan dada. Suara tawa kekesalan, penyesalan, beradu menjadi satu kesesakan. Ben mengacak rambutnya. Hidupnya kini hancur. Alasan semangatnya sudah pergi jauh meninggalkannya.
Harusnya Terry ada si sini. Harusnya laki-laki itu memberikannya semangat untuk belajar maupun bekerja, tetapi Terry sudah tiada. Takdir seolah-olah memang merencanakan semuanya, dan membuat dirinya hancur. Dan rencana takdir berjalan sesuai harapan, Ben benar-benar hancur.
Semua yang dibangun Ben dari awal, kini hanya sebuah ejekan tawa yang menghantuinya. Semuanya hancur. Kuliah, kerja, semuanya hancur. Jika Ben ditanya siapa yang menghancurkan hidupnya, jawabannya hanya satu, Terry Kang.
Tetapi Ben tidak mau melimpahkan semua itu ke Terry. Dia sendiri juga menghancurkan hidupnya. Hidupnya hancur, sebagian karena dirinya. Tidak ada lagi yang tersisa atau dibangun lagi di sini. Semuanya sudah menjadi abu. Dan sudah tidak ada alasan lagi, Ben mempertahankan semua ini. Ben lelah. Dia juga ingin egois sekali saja, seperti Terrynya. Hanya sekali, untuk kali ini.
“Halo Terry? Kenyataannya kamu tetap pergi, dan aku hanya bisa tertawa, menyalahkan takdir disini, sendiri”
“Jika boleh, bisa tunggu aku di depan gerbang langit? Aku ingin menjemputmu untuk pulang”
“Jangan tolak permintaanku. Aku juga ingin egois untuk saat ini. Kamu cukup tunggu. Aku segera menyusulmu”
“Aku akan membawa bunga Lily cantik untukmu. Jadi tunggu aku, manis”
—end.