3-2-1-0–evanescent (bbangkyu)
Regret, end
Evanescent berarti bertahan dalam waktu singkat. Seperti takdir antara aku dan kamu, takdir kita begitu singkat. Tuhan memilih mengakhiri semua permainan konyol hati ini, dengan membawamu pulang. Tidak adil memang, itu curang. Aku bahkan sekali saja, belum pernah membalas satu kata manis yang selalu terlontar dari bibirmu, tetapi kenapa kamu pergi lebih dulu??
Pasti menurut kalian, semakin lama hubungan maka semakin banyak juga rasa cinta yang tumbuh. Semakin banyak waktu bersama, semakin banyak juga perasaan yang hadir didalam dada. Tetapi itu tidak berlaku untuk kedua orang ini. Ah lebih tepatnya untuk satu orang dalam sebuah ikatan antara Kim Younghoon dan Ji Changmin.
Sudah hampir 3 tahun hubungan mereka berjalan. Bukan hubungan pacaran seperti orang-orang, tetapi hubungan perjodohan. Orang tua Kim dan orang tua Ji melakukan perjodohan ini dari mereka bayi karena wasiat kakek mereka dan mereka baru bisa melakukannya saat mereka lulus kuliah.
3 tahun bukan waktu yang sebentar. Dalam waktu 3 tahun ini sebenarnya bisa membuat rasa cinta mereka tumbuh, tetapi ini sama sekali tidak berpengaruh. Iya, untuk satu orang. Kim Younghoon. Bagi Ji Changmin, dia bahkan sudah benar-benar mencintai laki-laki kutub itu bahkan sebelum perjodohan itu terjadi.
Besok adalah hari pertunangan mereka. Orang tua mereka lah yang memaksa keduanya melakukan pertunangan itu, katanya sih biar ada ikatan. Awalnya Changmin menolak dengan alasan terlalu cepat, tetapi bukan itu. Dia takut, apalagi dengan keadaan dia dan Younghoon yang sama sekali tidak bisa disatukan seperti ini. Tetapi orang tua mereka tetep keukeuh, ya Changmin tidak bisa apa-apa.
“Hoon? Hari ini bisa anter–”
“Gabisa, sibuk”
Changmin tersentak, lalu menghela nafas. Sudah terbiasa. Tetapi dia tidak menyerah. Dia berjalan mendekati Younghoon yang tengah sibuk dengan ponselnya disofa.
“Beneran sibuk?” Tanya Changmin memastikan.
Suara decakan terdengar sedetik kemudian. Atmosfer mendadak dingin setelah Younghoon melayangkan tatapannya ke laki-laki Ji itu. Changmin meneguk salivanya. Bohong jika dia bilang sudah terbiasa, buktinya dia gugup setengah mati sekarang.
“Gua bilang sibuk ya sibuk! Lu masih punya kaki sama tangan kan? Pergi sendiri!!” Ucap Younghoon dingin.
“Tapi bunda–”
“Ck!! Lu paham bahasa manusia gasih??!!!” Setelah mengucapkan kalimat itu, Younghoon beranjak dari sofa lalu menuju pintu apartement.
“Oke maaf, hati-hati hoon!! Love–”
BRAKK
“You...” Changmin mengigit bibir bawahnya. Tembok pembatas dirinya dan Younghoon terlalu tebal, terlalu sulit untuk menembus hati laki-laki Kim itu. Changmin menghela nafas sekali lagi. Memilih pergi ke kamarnya lalu bersiap pergi sendiri.
Jam menunjukkan jam 11 siang, hari ini sebenarnya hari libur makanya dia memberanikan diri meminta Younghoon mengantarkan. Dia kira Younghoon akan mengangguk mengiyakan, tetapi sepertinya bayangannya terlalu tinggi.
Changmin menghela nafas. Dia terpaksa pergi sendiri, padahal hari ini jadwal mereka ke butik untuk fitting baju. Bahkan bundanya sudah repot-repot memesankan butik untuk tempat mereka, tapi sepertinya Younghoon terlalu sibuk untuk melakukan hal tidak berguna seperti itu, menurutnya.
Changmin menyandarkan kepalanya. Fokusnya ke jalanan pecah. Sekelebat bayangan muncul dibenaknya. Bagaimana takdir masa depan mereka, apakah Younghoon akan berubah atau justru sebaliknya mereka akan berpisah?
Changmin mengacak rambutnya kasar. Dia benci pemikirannya seperti ini. Tapi ya memang kenyataannya begitu. Dia terlalu takut jika Younghoon semakin dingin, dan semakin menganggapnya tidak ada.
Changmin mengusap wajahnya kasar. Terlalu sulit membayangkan hal yang akan terjadi di masa depan. Dia bahkan tidak bisa meramal kejadian beberapa menit kedepan, tetapi sok sekali meramal kejadian beberapa tahun kedepan.
Dia sekali lagi menghela nafasnya. Kepalanya pusing sekarang. Dia mencoba meraba dasboard mobil dan mencari sebotol air mineral, tetapi sepertinya tidak ada. Changmin menoleh untuk memastikan, seingatnya tadi dia membawanya.
Baru saja dia menoleh. Tiba-tiba suara klakson nyaring memekikkan telinganya. Changmin sontak mengalihkan pandangannya kembali ke jalanan, namun terlambat.
Hantaman keras membuat tubuhnya seolah melayang. Suara teriakan menggema dimana-mana. Bau anyir memenuhi indra penciumannya. Changmin mencoba bangun, tapi tubuhnya seperti terjepit sesuatu. Pandangannya gelap, dia hanya bisa mendengar suara sayup-sayup orang-orang meminta pertolongan. Changmin tersenyum tipis, mencoba menarik sesuatu dan menggenggamnya sebelum semua kesadarannya hilang total.
Younghoon memijat pelipisnya, pusing. Mamanya dari tadi terus mengomel lewat telepon karena dia ketahuan tak mengantar Changmin fitting baju.
“Iyaiyaa ishh!! hoon beneran sibuk ini”
“Sibuk ngapain hah? Pacaran?”
Younghoon tersentak, lalu melirik seseorang yang tengah sibuk memesan sesuatu di depan sana.
“A-apaan sih?? Gaboleh tau fitnah!!”
“Fitnah gimana? Mama tau kamu masih nggak setuju sama perjodohan ini, tapi tolong hargai keputusan kakekmu hoon!! Mending sekarang keluar kafe itu terus susulin Changmin atau mama bilang ke papa biar jabatan kamu diturunin?”
“Ck!! Iya!!” Younghoon langsung menutup sambungan telepon. Dia berdecak kesal. Kalo gini dia makin gasuka sama perjodohan konyol ini.
Baru saja dia menutup menurup sambung telepon, tiba-tiba satu telepon kembali masuk. Younghoon hampir saja mengumpat karena mengira mamanya lagi, tetapi tidak jadi karena nama Changmin tertera dilayarnya. Younghoon berdecak kesal. Dia memilih menggeser tombol merah lalu mematikan ponselnya, tepat saat seorang berambut seperti gulali mendekatinya.
“Tadi mama ya by??”
Younghoon mengangguk. Seseorang itu tersenyum tipis, paham jika mama Kim menelepon pasti untuk mengomelinya. Apalagi kalau bukan soal calon tunangannya. Dia tau semuanya, iya semuanya.
“Kenapa lagi sih? Sampe cemberut gitu??”
“Disuruh nyusulin Changmin fitting baju, ishh kesel” Dengus Younghoon tak terima.
Orang itu mengangguk paham. Dia juga baru ingat besok hari pertunangan kekasihnya itu dengan calonnya.
“Yaudah sana susulin”
“Gamau chan”
Chanhee, dia terdiam. Younghoon keras kepala. Dulu saat dia ingin memutuskan laki-laki itu juga Younghoon menyuruhnya bertahan, sampai saat ini. Younghoon bilang dia akan membatalkan perjodohan itu, tapi seperti yang kalian tau, itu tidak ada hasilnya. Baru saja Chanhee ingin membuka suara lagi, suara nada dering ponsel Younghoon memecahkan keheningan.
Chanhee melirik layar ponsel Younghoon, tertera nama mama disana. Younghoon terdengar menghela nafasnya lagi. Chanhee terdiam, kemudian menyenggol lengan laki-laki Kim didepannya.
“Angkat”
Younghoon mengangguk pasrah lalu menggeser tombol hijau dan mendekatkan ponselnya ke telinga.
“Ada apa lagi sih ma?”
Younghoon tersentak ketika mendengar suara isakan dari balik telepon. Dia mulai khawatir sekarang. Perasaannya tiba-tiba terasa tidak enak.
“Ma? Mama kenapa??”
“KIM YOUNGHOON!! HIKS”
Suara mamanya terdengar memberat. Younghoon yakin ada sesuatu yang tidak beres.
“Ma? Ken–”
“CHANGMIN KECELAKAAN!! CEPET KESINI!!!”
Deg..
“Mama jangan bercanda!!”
“MAMA KEDENGERAN BERCANDA YAA??!!!!”
Sambungan telepon langsung terputus. Detak jantung Younghoon seolah berhenti saat itu juga. Chanhee ikutan khawatir karena tiba-tiba Younghoon terdiam setelah menerima telepon.
“Mama kenapa hoon?”
Tanpa menjawab pertanyaan Chanhee, Younghoon langsung berlari meninggalkan kafe. Chanhee terdiam. Dia diam-diam menghela nafas lalu menarik tersenyum tipis saat bayangan Younghoon benar-benar sudah menghilang.
Suara langkah kaki Younghoon terdengar beradu di sepanjang koridor rumah sakit. Beberapa orang bahkan sampai memilih menepi daripada bertabrakan dengan laki-laki Kim itu. Raut wajahnya bahkan dari tadi terlihat buruk, bahkan sangat butuh sampai tak seorang pun bisa mengartikannya.
“Mama? Changmin mana?!!” Younghoon menatap wanita berkepala lima didepannya. Mama Kim terdiam, matanya tampak sembab. Tangannya dengan lemah menunjuk ke sebuah ruangan yang tengah tertutup rapat.
Hampir saja Younghoon hendak bertanya lagi, pintu ruangan tersebut terbuka. Disusul dengan dokter yang muncul dengan raut wajah yang sama sekali tidak bisa dideskripsikan. Younghoon pun sontak langsung berlari menghampiri dokter itu. Berusaha bertanya, namun dokter hanya diam sambil menepuk pundaknya pelan.
“Maaf. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan lebih sayang tuan Changmin”
“Gak!! gamungkin!! Dokter bercanda kan?!”
Younghoon nampak mengguncang pundak dokter itu. Dokter hanya bisa menunduk, membiarkan Younghoon melupakan kekesalannya. Younghoon menggeleng, masih belum bisa mempercayainya. Dia langsung berlari masuk, menerobos dan tubuhnya langsung membeku saat itu juga.
Terlihat tubuh seseorang yang sudah sepenuhnya tertutup kain putih. Younghoon diam, berjalan mendekat. Dia menyingkap helaian kain putih itu. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Semua aliran darahnya seperti membeku detik itu juga. Matanya tiba-tiba terisi penuh air mata. Lutut Younghoon melemas. Tubuhnya ambruk tepat di tubuh Changmin yang terdiam kaku didepannya.
“Gamungkin.. Gamungkin! Heh bangun bodoh!!”
Younghoon mengguncang tubuh kecil didepannya itu. Tapi nihil, tak ada tanda-tanda kehidupan. Laki-laki manis yang menemaninya selama tiga tahun ini benar-benar pergi meninggalkannya. Tubuhnya semakin melemas. Tangisnya pecah saat itu juga.
“Yak!! Ji bodoh Changmin!! Bangun!! hiks”
“CHANGMIN BANGUN!!! HIKS MAAFIN GUA”
Detik itu juga, memori tentang Changmin perlahan berputar memenuhi ruang diotaknya. Tentang semua tindakan manis Changmin yang selalu ia dibalas dingin, dan juga semua ucapan manis laki-laki Ji itu yang juga terbalas pedas olehnya.
Kini, saat Changmin sudah tak dapat lagi menemaninya hari-harinya, Younghoon baru tersadar. Laki-laki itu yang selalu ada jika dia membutuhkan sesuatu, sekarang membiarkan dia sendirian, dalam kebodohan. Ya dia laki-laki paling bodoh di seluruh alam semesta ini karena menyia-nyiakan seseorang yang berhati malaikat seperti Changmin. Hari ini, Younghoon baru sadar arti kehilangan. Kehilangan seseorang yang sebenernya sangat penting bagi hidupnya, namun dia acuhkan.
Dadanya terasa sesak. Air matanya tak lagi bisa terbendung. Penyesalan perlahan hadir ketika luapan air mata tak lagi tertahan. Sekarang semua hanya kenangan, keterlambatan dan penyesalan. Ji Changmin, benar-benar pergi. Pergi meninggalkan, untuk selamanya.
Kehilangan Changmin sangat membekas di kehidupan seorang Kim Younghoon. Sampai saat ini. Hari ini tepat lima tahun perayaan kematian Changmin, dan Younghoon masih belum bisa percaya laki-laki Ji itu benar-benar pergi meninggalkannya.
Younghoon masih sendiri, ah lebih tepatnya memutuskan untuk menyendiri. Chanhee? Ya Younghoon memutuskan Chanhee setelah Changmin pergi. Terlambat, tapi sepertinya itu keputusan yang terbaik. Bahkan Chanhee sekarang sudah memiliki calon yang akan menjadi takdir abadinya.
Hmm berbicara masalah takdir, Younghoon sendiri masih mempercayai apa itu takdir. Takdir antara dia dan Changmin, tidak mungkin hanya kebetulan kan? Pasti Tuhan sudah menggariskannya. Younghoon masih setia berpegangan teguh dengan garis antara dirinya dan Changmin, walaupun itu bersifat maya, mustahil.
Younghoon tersenyum miris sambil melihat sebuah benda yang melingkar di pergelangan tangannya. Sebuah gelang hasil rancangan Changmin sendiri yang menjadi hadiah terakhir Changmin untuknya, satu-satunya. Gelang itu yang menjadi saksi bisu Changmin dan Tuhan, sebelum Tuhan memutuskan untuk membawa Changmin pulang ke rumah abadinya.
Younghoon menghela nafas. Menatap foto seseorang yang tengah tersenyum manis dibalik lemari kaca. Itu Changmin, tengah tersenyum cerah memamerkan lesung pipitnya. Air mata Younghoon perlahan turun, lagi. Terlalu menyakitkan, memutar kembali potongan puzzle kenangan pahit dan juga dinginnya dengan Changmin. Bahkan dia sekarang merasa sedang berhalusinasi karena merasakan aura seorang Ji Changmin disini.
Younghoon tersenyum singkat, lalu dengan cepat mengusap air matanya. Dia harus segera pergi dari sini, sebelum matanya semakin memanas dan meluapkan segala penyesalannya lagi dan lagi. Helaan nafas Younghoon terdengar menggema di ruangan krematorium yang sepi ini. Younghoon melempar senyum tipisnya. Menerawang objek cetak didepannya, sebelum melangkah keluar dari ruang penyesalan ini.
Tanpa Younghoon sadari, ada seseorang yang tengah memperhatikannya dari awal datang sampai bayangannya benar-benar menghilang dibalik pintu. Menyaksikan segala penyesalan Younghoon dari awal sampai akhir. Orang itu tersenyum tipis dengan lesung pipitnya yang tidak bisa memudar. Tatapan matanya terlihat sendu dan dingin.
Andai dulu dia tidak melakukan hal itu, mungkin takdir tidak akan seperti ini. Berputar dan menjadi bumerang. Tapi apa boleh buat, dia akan melakukan apapun agar Younghoon bisa bahagia. Karena kebahagiaan Younghoon, masuk dalam daftar kebahagiaannya juga. Termasuk mengorbankan semua takdir dan kehidupannya. Ya semuanya, seperti memalsukan kematian—dirinya sendiri.
–end.