RE-DANDELION🌼

hellow~

Langit biru, bergelar megah mengelilingi sang kanvas milik pencipta semesta. Ditemani oleh para gulungan awan manis bak permen kapas, bermain-main di atas panggung megah di atas sana. Bergerak gemulai, menyajikan pertunjukan indah di panggung semesta, dan membuat sang matahari tersenyum senang melihatnya.

Seorang laki-laki, berambut coklat dengan beberapa helai pirang, berjalan riang dengan tas besar di punggungnya. Rambut kuacinya, meloncat-loncat mengikuti irama nyanyian rendahnya. Kedua tangannya, memeluk satu benda yang menjadi alasan senyumnya terus mengembang sepanjang jalan.

“Terry!!!”

Seseorang dengan kursi roda di depan jendela, menoleh ke sumber suara.

“Ah, Ben? Cepat sekali datangnya?”

Ben, laki-laki rambut kuaci itu tak menjawab Terry dan memilih berlari kecil ke arahnya.

“Ngerasain sesuatu nggak?” Tanya Ben antusias.

Terry diam, kemudian senyumnya hadir tipis menghiasi wajah pucatnya.

“Hari ini langit cerah? Aku bisa denger suara burung-burung di luar”

Ben menjentikkan jarinya, “Benar!! Aku akan memberimu nilai seratus!”

Terry tertawa. Sepertinya dalam satu hari ini, baru kali ini dia tertawa. Dan satu fakta yang harus kalian ketahui, jika laki-laki manis dan dingin itu, buta. Terry hanya bisa mendengar dan merasakan melakukan telinganya, walaupun tak cukup peka. Tetapi Ben sangat membantunya selama ini.

“Aku ingin mendengar ceritamu tentang langit hari ini!!”

Ben terkekeh saat melihat laki-laki itu bersemangat sekali, menuntut cerita tentang langit. Ben mengacak kecil rambut Terry, kemudian membuka suaranya.

“Langit hari ini berwarna biru cerah!! Ada beberapa awan putih juga yang menemaninya!!”

Ukiran senyum Terry, tergambar jelas di wajahnya.

“Beneran?!”

Ben mengangguk, “Kamu inget? Bentuk awan yang mirip permen kapas?”

Terry mengangguk antusias, “Apa awan permen kapas bersama langit biru hari ini?!”

Ben tertawa, “Benar!!”

Terry tiba-tiba menggerutu. Ben menatap bingung laki-laki di depannya itu.

“Aku ingin melihat langit lagi, pasti indah!!”

Ben hampir lupa dengan benda di pelukannya.

“Aish! Aku hampir lupa!!”

Ben menepuk keningnya. Tangannya dengan cekatan membuka bungkusan di pelukannya, kemudian meletakkan sesuatu di pangkuan Terry. Terry memiringkan kepalanya, bingung.

“Apa ini?”

“Aku mencetak foto langit dan coba rasain permukaannya!! Kamu bisa melihat langit lagi dengan cukup menyentuhnya!!”

Terry terkejut. Dia langsung meraba sebuah kertas tebal di pangkuannya. Tangannya bergetar. Setelah tiga belas tahun penglihatannya menggelap, dia bisa melihat langit kembali hanya dengan sebuah sentuhan. Bagaimana bisa?

Satu air mata, berhasil lolos melewati permukaan pipi pucat itu. Ben dengan cekatan mengusap pipi laki-laki di depannya itu, lalu melayangkan senyumannya.

“Gimana bisa kamu nangis? Sedangkan langit sedang bahagia?”

Terry tersenyum kecil. Tangan kirinya mengusap air matanya yang masih mengalir, kemudian meraba tangan mungil seseorang di depannya.

“Terima kasih, Ben? Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot membeli barang ini. Pasti mahal”

Ben menggelengkan kepalanya.

“Itu nggak mahal! Hanya sedikit menguras gaji part time ku bulan ini aja HAHAHA bercanda!!”

Terry menghela, “Kan! Pasti kamu menghabiskan banyak uang!”

“Ish!! Anggap aja itu hadiah ulang tahun mu yang terlewat bulan lalu, karna kamu tidak mau ku traktir ramen hari itu. Padahal cuaca hari itu benar-benar bagus!” Dengus Ben.

“Jika kamu lupa, hari itu ada jadwal aku cuci darah, tuan Choi”

Ben memutar bola matanya, “Alasan. Dahlah, aku harus melakukan part time. Nanti malam aku akan kembali!!”

Ben menepuk pelan bahu Terry. Terry mengangguk. Tangannya melambaikan tangan ke arah menjauhnya suara langkah kaki laki-laki itu. Senyumnya perlahan memudar saat suara pintu terdengar tertutup. Terry menarik napasnya panjang. Tangannya meraba sesuatu di depannya, kemudian menariknya. Suara langit yang terlalu lama didengar, membuatnya sakit kepala. Terry suka, walaupun menyakitkan. Sama seperti jatuh hati dengan Ben, dia menyukainya namun terlalu sakit.


Ben berjalan santai memasuki area rumah sakit. Dia berulang kali membuka suaranya, menyapa beberapa perawat maupun dokter yang sudah sangat dia kenal, dan juga sebaliknya.

Bagaimana mereka tidak mengenal Ben, sosok laki-laki yang sudah bertahun-tahun menemani pasien tetap di sini. Dan selalu datang setiap hari, dengan sedikit kelakuan ajaibnya yang membuat keributan seisi koridor.

“Sudah datang?”

Ben cukup terkejut saat mendengar Terry langsung sadar kehadirannya, padahal dia membuka pintu dengan sangat pelan, berniat mengejutkan Terry, namun gagal.

“Kok tau?”

Terry berdehem, “Siapapun akan tau jika Ben Choi datang, karena selalu ada keributan di luar”

Ben mendengar, “Kamu nggak asik!!”

Ben menghentakkan kakinya ke arah sofa sebelah ranjang Terry. Terry hanya menggelengkan kepalanya. Memilih fokus kembali ke buku dengan huruf braille di pangkuannya.

Ben menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Pandangannya juga ikut jatuh ke sosok manis di balik piyama biru, yang sibuk dengan bukunya. Ben tersenyum. Terry selalu menjadi hal terindah dalam bagian bab takdirnya. Pertemuan singkat bocah enam tahun, tenyata berlangsung lama sampai sekarang. Ben bahkan tidak menyangka bisa jatuh terlalu jauh ke bocah ingusan dengan sepeda merahnya dulu. Tetapi pertemuan singkat indah itu hanya berlangsung sebentar, sebelum kecelakaan itu terjadi dan merenggut semua senyum laki-laki manis itu.

“Kadang aku suka inget hari waktu kamu nangis karna aku kehilangan penglihatan”

Ben menoleh ke Terry, kemudian tertawa kecil.

“Ya gimana nggak nangis? Aku makin kejer aja pas kamu malah nepuk-nepuk bahuku, kayak nggak ngerasain sakitnya”

Terry tersenyum, “Kamu tau kan? Sejak hari itu aku kehilangan penglihatan sekaligus kehilangan rasa sakit?”

Ben berdehem, “Tau. Tapi sampe sekarang sedikit pun kamu belum bisa ngerasain?”

“Bisa. Sedikit? Hanya sakit kepala, beberapa kali”

Jawaban Terry, sontak membuat Ben berlari ke arah ranjang Terry.

“Masih sakit?”

Terry menggeleng, “Tidak sesakit itu. Kamu tidak perlu khawatir. Mungkin efek bergadang?”

Ben mendengus, “Ayolah! Berhentilah membaca buku yang sudah beribu kali kamu baca! Istirahatlah! Aku sampai bosan melihat cover buku itu!!”

“Satu kali lagi? Hanya tersisa lima halaman”

Ben melirik jemari Terry yang meraba, menghitung jumlah halaman yang tersisa. Ben menghela napasnya panjang.

“Aku tadi denger dari dokter, katanya kamu besok operasi donor ginjal? Kenapa nggak bilang dulu? Beneran cocok emangnya?!”

Terry bisa merasakan atmosfer di sebelahnya memanas.

“Aku udah siap, Ben. Lagipun, keputusan tetap ada ditangan bunda dan ayah walaupun kamu menolak”

Ben menghela, “Tapi kan bisa ngomong aku dulu?!”

Terry menggeleng. Tangannya meraba tempat sebelahnya, berusaha menggenggam tangan laki-laki yang tengah emosi itu. Ben mengusap wajahnya. Memilih menarik tangan Terry, lalu mendekapnya.

Keduanya memilih sama-sama terdiam, dalam dekapan sang waktu. Terry tersenyum tipis saat merasakan deruan napas kesal dari Ben. Siapapun akan kesal jika orang terdekatnya, tiba-tiba membuat keputusan mendadak seperti ini.

“Biarin aku berjuang sekali lagi ya?”

Terry mengusap pelan rambut lembut Ben. Ben hanya menghela napasnya, masih tak menjawab.

“Ben? Ini usaha terakhir ku. Aku sudah menyerah sejak tahun lalu, tetapi kamu selalu bilang akan ada pendonor yang pas buat aku, dan hari itu tiba. Aku udah mikirin ini lama, mungkin sebulan lalu? Bertepatan saat kamu mulai ambis belajar untuk ujian ke universitas. Aku tidak ingin mengganggumu. Besok juga akan menjadi hari perjuangan bagi aku dan kamu. Aku akan berjuang di sini, dan kamu juga berjuang dengan mimpimu. Jadi boleh izinkan aku besok?”

Ben menarik napasnya. Dekapannya semakin erat, memeluk hangat tubuh Terry yang kian kurus. Terry tersenyum. Menikmati setiap serat hangat yang disalurkan Ben. Dia cukup senang, setidaknya sebelum hari esok tiba. Dan mungkin saja merubah takdir keduanya.

“Aku nggak mau egois, dan biarin kamu bertahan sama rasa sakit itu. Besok hari kamu berjuang. Aku juga besok ada tes universitas. Aku harap kamu bisa bertahan, maka aku juga...”

Terry tersenyum, “Semangat! Aku yakin kamu bisa”

Ben mengangguk. Tangannya mengusap pelan rambut hitam Terry yang mulai menipis, berguguran seperti dedaunan musim semi. Hanya saja rambut Terry gugur saat musim semi..

“Kamu juga. Aku harus dapet kabar baik setelah ujian!”

“Aku juga harus dapet kabar baik setelah ke luar ruang operasi!!”

Keduanya tertawa. Berbagi kisah disepanjang sang rembulan memimpin, dan bertahan di tahtanya. Sang rembulan diam-diam mendengar lirihan mencekik harapan keduanya. Rembulan melirik ke sang bintang yang hanya memancarkan senyum tipisnya. Hanya sang pencipta semesta yang tau, takdir keduanya di masa depan.


Ben berlari ke arah gedung ujian. Dia hampir terlambat, karena jam bekernya mati. Ben sampai tak habis-habis melayangkan sumpah serapahnya ke jam beker tua itu. Untung saja dia terbangun saat tetangganya mengetuk pintu untuk meminjam panci. Jika tidak, kemungkinan besar dia tidak mengikuti ujian hari ini. Ben menarik napasnya lega saat sampai di ruang ujian tepat waktu, walaupun dengan keringat yang memenuhi wajahnya.

Kepala Ben langsung pusing saat melihat beberapa lembaran soal. Dia menghela napas. Dia tidak menyangka akan sebanyak ini. Ben menyatukan kedua tangannya, meminta sesuatu keajaiban terjadi kepadanya. Setelah Ben selesai berdoa, dia langsung membuka kertas jawaban dan mulai menjawabnya.

Dentingan jam berjalan sesuai garis hitam jelas. Ben memiringkan kepalanya, bingung saat membaca beberapa soal terakhir. Kepalanya sudah sepenuhnya berputar, seperti jarum jam. Sepertinya, otaknya mengikuti pergerakan jam karena membaca soalan rumit ini. Dia bisa saja mendadak menjadi gila karena ini.

Baru saja hendak menjawab, tiba-tiba jantungnya terasa berhenti berdetak selama sedetik. Ben panik. Dia langsung menarik napas kuat dan mencoba menormalkan napasnya. Ben memegang kepalanya. Tangan satunya memegang kuat-kuat dadanya. Perasaannya tidak enak.


Ben baru mendapatkan ponselnya kembali, saat ke luar dari ruangan ujian. Ben menggaruk kepalanya, bingung saat melihat panggilan tak terjawab beruntun dari bunda Terry. Baru saja ingin menelepon balik bunda, tiba-tiba seseorang menabraknya sampai ponselnya terpental dan berciuman langsung dengan lantai.

“Ah! Maaf!! Kamu gapapa?”

Ben mengangguk. Tangannya mengambil ponselnya di lantai, dan mencoba menyalakannya tetapi gagal.

“Hp kamu mati? Ahh maaf!!”

Ben mengangguk, “Nggak papa. Emang hp tua”

“Maaf ya? Aku ga sengaja, buru-buru karena papa udah jemput”

“Nggak masalah. Aku pulang dulu!”

Ben langsung meninggalkan orang yang tadi menabraknya. Perasaannya tiba-tiba terasa tidak enak lagi, apalagi ponselnya mati dan otomatis dia tidak bisa menghubungi bunda. Ada apa ya?


Ben berdecak saat melihat jadwal bus tenyata sudah terlewat beberapa menit sebelum dia sampai. Masih ada jadwal satu bus lagi sekitar lima belas menit lagi. Ben memilih duduk di halte, sambil menunggu bus datang. Jika dia mempunyai cukup uang, dia akan membayar taksi, hanya saja dia tidak mempunyai uang yang banyak.

Ben mengetuk-ngetuk ponselnya yang mati total. Ben menghela napas. Butuh biaya yang lumayan besar untuk membetulkan ponselnya, apalagi dia hanya mendapatkan setengah gaji karena bekerja part time. Ben harus berhemat untuk membuat ponselnya menyala kembali.

Langit siang menuju sore ini, terlihat cukup hangat. Rona biru, bercampur rona oranye yang mulai muncul di ufuk barat, membuat semburat kilauan indah bak berlian di tahta semesta. Ben tersenyum melihatnya. Andai saja Terry di sini, dengan kondisi tiga belas tahun lalu, mungkin laki-laki itu akan menjerit bahagia melihat lukisan indah di kanvas semesta seperti ini. Tetapi itu hanya khayalan Ben, lagi.

“Permisi?”

Ben terkejut saat seseorang berdiri di depannya. Ben bisa melihat wanita sekitar berkepala enam, tengah mengangkat satu keranjang berat di tangannya.

“Ah, iya?”

Ben langsung berdiri dari duduknya. Dia harus menghormati wanita yang jauh dari umurnya itu.

“Saya berjualan bunga Lily. Apa kamu mau?”

Ben melihat keranjang nenek itu yang penuh dengan bunga Lily putih. Ben mengigit bibirnya. Jujur saja, uang di kantungnya hanya tersisa untuk naik bus dan juga berbelanja beberapa makanan yang habis di rumah. Tetapi sepertinya wanita di depannya lebih membutuhkannya. Ben mungkin bisa berpuasa selama sisa akhir bulan ini, tetapi tidak dengan nenek itu.

“Nek? Saya beli semua ya bunganya?” Tawar Ben.

Wanita itu cukup terkejut, “Sungguh?”

Ben mengangguk dengan senyumannya. Nenek itu langsung meneteskan air matanya.

“Puji Tuhan, terima kasih!”

Ben tersenyum, lalu mengambil alih bunga-bunga di keranjang nenek itu.

“Saya harap, bunga ini bisa kembali menenangkan jiwa suci seperti kamu”

Ben tersenyum kecil walaupun tak paham makna dari perkataan nenek itu.

“Sekali lagi terima kasih ya, nak? Nenek berterima kasih sekali karena hari ini bisa makan”

Ben mengangguk, “Sama-sama. Nenek pulangnya hati-hati!!”

Nenek itu mengangguk, kemudian berjalan pelan meninggalkan halte.

Ben menarik napasnya. Melihat beberapa tangkai bunga Lily yang masih cukup segar di keranjang. Senyumnya sedikit naik. Teringat dengan Terry, laki-laki itu sangat menyukai bunga Lily putih. Ben akan memberikan bunga-bunga ini ke Terry. Pasti laki-laki itu senang jika ke luar dari ruang operasi disambut dengan keranjang penuh bunga Lily seperti ini.

Sekitar sepuluh menit, bus datang. Ben dengan cepat menaiki bus dengan keranjang bunganya, yang mengarah langsung ke halte tak jauh dari posisi rumah sakit tempat Terry dirawat. Ben sudah siap memberikan sambatan ke laki-laki itu karena soal ujian yang sangat susah, tetapi sepertinya sebuah takdir putih menahannya.

Ben berhenti tepat di depan ruang operasi Terry, yang diberitahukan salah satu suster penjaga Terry. Tetapi bukan itu yang membuat langkahnya terhenti. Di sana, terlihat bunda yang berderai air mata berada di pelukan ayah Terry. Bahkan dokter masih ada di sana, melihatnya dengan tatapan sulit diartikan.

“I-ini ada apa?”

Dokter menghela napas, “Maaf, Ben. Sekali lagi saya meminta maaf. Operasi donor ginjal ke pasien Terry Kang, gagal. Dan Terry Kang sudah kembali ke pangkuan Tuhan pada pukul 3.49 sore, karena gagal melalui masa kritisnya. Saya memohon maaf, tetapi Tuhan lebih menyayangi Terry kami....”

Jantung Ben benar-benar seperti berhenti berdetak. Matanya mulai terisi air tanpa perintah, dan menetes tanpa persetujuan melewati pipi tirusnya. Keranjang penuh bunga Lily di tangannya, sampai tak kuat lagi dia tahan. Tubuhnya ambruk ke bawah, dan mempertemukan lutut dan juga kerasnya lantai dingin.

“Nggak! Nggak mungkin!!”

Ben menarik rambut panjangnya. Isakan tangis penuh pedih, terdengar memenuhi seisi koridor. Rintihan penuh sesak, mengisi ruang di dadanya. Ben memukul kepalanya. Rasa sakit fisiknya, tidak akan pernah bisa menggantikan sakit di dalam dadanya. Terry sudah berjanji akan memberinya kabar baik, jadi dimana letak kabar baik itu? Terry pembohong.

Ben benar-benar tidak menyangka. Bagaimana bisa bunga Lily ini menjadi tanda kepergiannya. Bahkan sang surya hanya menutup mulut dan mengantarkannya pergi tanpa mengucapkan satu pun kata perpisahan kepadanya? Laki-laki itu hanya memikirkan dirinya sendiri, dan pergi tanpa seizinnya. Terry sangat egois.


Deretan bunga-bunga Lily, berjajar rapi mengisi udara hampa di atas gundukan tanah basah di depan. Ben menatap batu dengan ukiran indah nama seseorang yang berusaha dia jaga selama ini, tetapi malah laki-laki itu yang memilih jalan egoisnya sendiri dan pergi meninggalkannya tanpa berpamitan.

“Terry? Lo jahat. Nggak usah marah kalo gue balik gini lagi, semuanya salah lo!”

Ben mengigit bibir bawahnya yang sudah perih. Menahan kuat rasa sakit yang sudah tak lagi terbendung.

“Lo bilang bakal nerima cinta gue kalo sembuh. Lo janji bakal semangat terus berjuang buat sembuh, tapi kenyataannya apa?”

Ben terkekeh, “Lo malah ninggalin gue. Sesakit itu ya rasa sakit yang lo sembunyiin dari gue? Dan malah nyerah sendiri? Kenapa nggak limpahin semua ke gue aja sih?!!!”

Ben menunduk. Tak lagi kuat menahan semua di pundaknya, sendiri.

“Terry, gue di sini bukan berperan jadi sahabat lo doang, tapi sebagai seseorang yang rela ngelakuin apa aja buat lo sembuh, tetapi lo malah seenaknya nyerah! Emang gue izinin lo nyerah hah?!!”

Ben mengusap kasar air matanya. Isakan tangisnya benar-benar terdengar pedih, dengan iringan gerimis tipis yang mulai menjatuhkan dirinya ke bumi. Langit tau, jiwa rapuh itu sudah jatuh di titik terdalam.

“Langit plin plan banget. Kemarin waktu lo pergi, matahari dengan semangatnya nganterin lo pulang, kenapa sekarang tiba-tiba hujan? Apa karena lo yang suruh langit nurunin air? Jangan sok deh!!”

Ben menarik napasnya. Memilih berdiri dari duduknya, kemudian kembali menatap lekat batu nisan di sana.

“Terry, asal lo tau gue bukan orang pembohong kayak lo. Gue di sini bawa kabar baik, gue keterima di universitas impian gue! Lo seneng kan pasti?!”

Ben tersenyum miris, “Lo dulu yang paling maksa gue kuliah di sana. Tetapi sekarang lo pergi, padahal pasti keren plus ganteng kalo liat gue pake jas almamater kampus haha”

Ben mengusap air matanya. Mendongakkan kepalanya, menahan air agar tidak lagi membasahi pipinya.

“Maaf”

Ben mengigit kuat bibir bawahnya, sampai rasa anyir mengisi rongga mulutnya.

“Aku hanya akan menyampaikan berita baik, nggak kayak kamu. Kamu pembohong. Aku sangat benci pembohong. Tetapi sepertinya aku nggak akan pernah bisa membencimu”

Ben tersenyum tipis, “Aku pergi. Aku tidak membencimu, tetapi aku juga tidak bisa memaafkanmu. Kamu egois, Terry”


Takdir tak akan pernah lagi berpihak pada Ben. Hanya kilasan adegan mencekik napasnya, yang berputar seperti kaset rusak di dalam otak. Ringkasan memori indah, serta janji-janji manis terus berputar. Berputar seperti kincir angin yang tidak tau kapan waktu akan berhentinya, tergantung kekuasaan sang pengatur benda semesta.

"Terry, aku pernah bercerita tentang langit biru kan?! Wah benar-benar indah!!!"

"Ayo ceritakan lebih banyak tentang langit hari ini!! Aku ingin mendengarnya!!!"
"Hari ini muncul pelangi! Harusnya kamu mau menerima ajakanku untuk keluar dan makan ramen bersama! Sampai bunda Son marah HAHAHA!!"

"Dasar bodoh! Kamu mengajakku keluar saat ada jadwal? Dasar rambut kuaci gila!!"

Seiring berputarnya memori kenangan manis menyakitkan, bersamaan dengan kayuhan sepeda Ben yang kian cepat. Deraian air mata bahkan tak lagi dapat Ben tahan. Ben semakin mempercepat goesan pada pedal sepedanya, sampai angin berusaha menghentikannya.

Suara keras dan nyaring hadir, disusul dengan Ben yang terpental dari sepeda, menjadi pertanda ulah sang angin yang kesal. Angin marah, dan hanya mendapatkan respon tawa dari laki-laki itu. Matanya berbinar melihat langit biru di atasnya, dengan kilatan air mata yang mulai memenuhi kelopak matanya.

“Harusnya kamu bisa lihat keindahan langit, bukannya itu kesukaan mu? Langit hari ini indah banget!! Harusnya kamu di sini, kenapa kamu pergi menemui sang pencipta langit terlebih dahulu, sebelum menatap kanvas indah ciptaan-Nya? Kamu egois dan menyerah begitu saja, tanpa berpamitan denganku. Kamu jahat..”

Air mata tak lagi tertahan. Suara isakan, bercampur dengan suara tawa membuat Ben membuat ruangan pedihnya sendiri.

“Seharusnya matahari bisa menahan mu untuk tetap di sini, tetapi mengapa matahari malah mengantarkan kamu pergi?”

Suara tawa Ben, seperti menjadi alunan musik pedih yang menyesakkan dada. Suara tawa kekesalan, penyesalan, beradu menjadi satu kesesakan. Ben mengacak rambutnya. Hidupnya kini hancur. Alasan semangatnya sudah pergi jauh meninggalkannya.

Harusnya Terry ada si sini. Harusnya laki-laki itu memberikannya semangat untuk belajar maupun bekerja, tetapi Terry sudah tiada. Takdir seolah-olah memang merencanakan semuanya, dan membuat dirinya hancur. Dan rencana takdir berjalan sesuai harapan, Ben benar-benar hancur.

Semua yang dibangun Ben dari awal, kini hanya sebuah ejekan tawa yang menghantuinya. Semuanya hancur. Kuliah, kerja, semuanya hancur. Jika Ben ditanya siapa yang menghancurkan hidupnya, jawabannya hanya satu, Terry Kang.

Tetapi Ben tidak mau melimpahkan semua itu ke Terry. Dia sendiri juga menghancurkan hidupnya. Hidupnya hancur, sebagian karena dirinya. Tidak ada lagi yang tersisa atau dibangun lagi di sini. Semuanya sudah menjadi abu. Dan sudah tidak ada alasan lagi, Ben mempertahankan semua ini. Ben lelah. Dia juga ingin egois sekali saja, seperti Terrynya. Hanya sekali, untuk kali ini.

“Halo Terry? Kenyataannya kamu tetap pergi, dan aku hanya bisa tertawa, menyalahkan takdir disini, sendiri”

“Jika boleh, bisa tunggu aku di depan gerbang langit? Aku ingin menjemputmu untuk pulang”

“Jangan tolak permintaanku. Aku juga ingin egois untuk saat ini. Kamu cukup tunggu. Aku segera menyusulmu”

“Aku akan membawa bunga Lily cantik untukmu. Jadi tunggu aku, manis”

—end.

Malam yang seharusnya menjadi tenang, terasa mencekamkan di salah satu rumah di kawasan elite itu. Nada tinggi, kata kasar, serta rangkaian perdebatan lain sedari tadi terdengar memekikkan telinga menembus dari balik pintu putih yang cukup megah. Suara teriakan yang menusuk telinga. Pecahan kaca yang menjadi suara pengiring pertengkaran hebat di antara kedua insan di sana, membuat satu insan kecil tak berdosa harus terkena imbasnya.

Laki-laki kecil itu hanya bisa menutup telinga dibalik bantalnya, dengan mencengkeram selimut tebalnya kuat-kuat, sembari terisak karena suara-suara itu selalu menghantui hari-harinya. Harinya yang seharusnya dia gunakan untuk bermain dengan tenang, tetapi malah harus meringkuk ketakutan seperti ini. Setiap hari selalu ada yang membuat kedua orang tuanya bertengkar hebat. Hanya masalah kecil, tetapi mampu membuat keduanya benar-benar bertengkar sampai beberapa perabot yang harganya tidak terbilang murah, juga harus menjadi korban.

Malam ini terdengar lebih berbeda dari biasanya. Setelah pertengkaran, biasanya berakhir dengan salah satu di antara keduanya akan keluar dari rumah untuk menenangkan diri, tetapi tidak untuk hari ini. Suara ketukan pelan, terdengar menggantikan suara mencekam tadi. Laki-laki kecil itu menggertakkan gigi ketakutan, tetapi dia memilih memberanikan diri keluar dari selimut tebalnya, saat suara halus memasuki indra pendengarannya.

Seorang pria dengan guratan tipis usia yang mulai terlihat, tersenyum sendu melihat anak laki-laki satu-satunya itu harus ketakutan, meringkuk di bawah selimutnya karena mendengarkan pertengkaran dirinya. Dia terdengar menghela nafasnya panjang, sebelum mengusap lembut rambut anak laki-laki kecil itu dan membawanya ke pelukan. Anak laki-laki itu yang awalnya takut, tidak bisa lagi menahan air matanya. Keduanya sama-sama terisak dalam sedikit kehangatan di malam yang dingin itu, sebelum alur takdir mengharuskan mereka berpisah. Dan pertemuan memilukan itu menjadi jalan terakhir mereka bertemu dalam pelukan, dan berpisah dalam uraian kata.


Mungkin bagi orang-orang, dunia adalah sekumpulan warna. Warna yang beragam, sampai tak terhitung jumlahnya. Tetapi dunia menurut seorang Kang Taehyun hanya terbagi menjadi dua warna, biru dan abu-abu. Biru untuk kebahagiaan, dan abu-abu untuk kesedihan. Selain itu? Hanya sekumpulan warna monokrom temaram yang tidak bisa dijelaskan, tidak berarti, dan juga tidak berguna.

Bagi Taehyun, hanya melihat dua warna ini bukan menjadi masalah. Taehyun bahkan lebih merasa dunia monokrom ini terlihat nyaman baginya. Setelah peristiwa mencekam dua belas tahun lalu, dia kehilangan semua warna dalam hidupnya. Hanya menyisakan warna biru dan kelabu. Hidupnya hancur saat kata perpisahan terucap dari bibir pria yang dulu sempat dia jadikan panutan. Meninggalkannya dan juga ibunya dalam kesendirian, kesendirian yang menyakitkan. Merubah semua arti tentang dunia menurut Taehyun kecil, dan membuat semua yang berhubungan dengan anak laki-laki cerah itu berubah dalam sekejap.

Taehyun melangkahkan kakinya ke rumah yang menjadi saksi bisu perpisahan orang tuanya dua belas tahun lalu. Rumah putih yang masih terawat dan berpenghuni sampai sekarang. Taehyun menatap datar pintu di depannya, sebelum seseorang membuka pintu sambil mempersilahkannya masuk. Dia hanya mengangguk, membenarkan posisi tasnya kemudian berjalan pelan masuk ke area rumahnya.

Rumah besar itu terlihat sepi. Taehyun menghela nafasnya lega, karena dia sepertinya hari ini bisa tertidur dengan tenang sebentar. Dia meletakkan tasnya, melempar tubuhnya ke ranjangnya kemudian menutup mata. Belum ada satu jam tubuhnya rileks, ketukan keras di pintu membuat terbangun. Keringat otomatis membanjiri wajah Taehyun saat dia mengetahui seseorang telah datang kembali. Suara ketukan yang semakin mengeras, membuat langkah lemas Taehyun memaksa dirinya untuk membuka pintu itu.

“I-iya ma?”

“Lama banget sih? Ini juga tadi udah mama suruh ke studio kenapa langsung pulang sih?!”

Taehyun mengigit bibirnya saat tangan itu mendorong tubuhnya. Tidak ada yang bisa dilakukan Taehyun selain diam, atau semua akan semakin rumit.

“Maaf ma. Taehyun capek tadi habis tes–”

“Alesan aja kamu! Masih mending mama mau numpang kamu di sini! Di suruh kerja bentar ada aja alesannya! Mau kamu mama usir kayak si bajingan tukang selingkuh itu hah?! Anak sama bapaknya sama aja!”

Sebuah tamparan mendarat di pipi putih Taehyun, membuat semburat merah datang ke sebelah pipinya. Taehyun menutup matanya, merasakan sensasi perih yang sudah menjadi santapan sehari-harinya.

“Jadwal photoshoot jam 7. Terserah kamu mau dateng atau engga, kamu tanggung sendiri akibatnya! Mama capek ngurusin kamu!”

Taehyun mengigit bibir bawahnya, saat suara pintu tertutup dengan keras. Lututnya melemas. Dia mengusap surainya ke belakang, sambil menahan air matanya agar tidak keluar. Jujur dia lelah hidup seperti ini. Tapi dia juga tidak bisa berbohong, jika mamanya sudah menyelamatkannya dari pilihan bodoh. Jika pada hari itu dia memilih hidup bersama papanya, mungkin hidupnya sudah berakhir saat itu juga, saat papanya pergi.


Taehyun menghela nafasnya lega saat suara jepretan kamera terakhir berbunyi. Dia langsung menunduk dan tersenyum ke arah semua orang yang sudah bekerja keras dengannya hari ini. Dia berjalan ke arah pintu, sebelum menunduk lagi dan berpamitan pulang. Taehyun menarik nafasnya panjang. Melihat ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan angka sembilan malam. Masih belum terlalu malam, dia masih ada waktu untuk menikmati hidupnya yang lumayan memahitkan.

Pemandangan kota, menyambut pandangan mata Taehyun. Laki-laki itu meminta agar supirnya berhenti di sebuah coffee shop. Taehyun mengeluarkan maskernya sebelum keluar dari mobil. Dia tidak mau orang lain menyadari kehadirannya di sini. Dia ingin bernapas dengan tenang untuk malam ini. Hanya untuk malam ini.

Taehyun duduk di salah satu kursi paling ujung untuk menghindari keramaian. Menopang dagunya, melihat suasana di luar yang semakin lama semakin sunyi. Dia menghela nafas saat beberapa notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Taehyun hanya melirik ponselnya, sama sekali tidak berniat membalas pesan-pesan itu. Dia sama sekali tidak ingin diganggu.

Jam hampir menunjukkan angka sebelas malam. Taehyun memutuskan untuk keluar dari coffee shop itu. Taehyun menghela nafasnya, mendongak melihat butiran tipis gerimis mulai turun membasahi tubuhnya. Tak ada niatan untuk berteduh terlebih dahulu, laki-laki itu malah terus berjalan menembus buliran hujan yang dengan perlahan menambah volume air jatuhnya.

Taehyun berjalan pelan menembus hujan. Memerhatikan beberapa orang yang menatapnya heran karena berjalan di bawah hujan yang cukup deras. Dia tak peduli. Dia hanya ingin merasakan betapa dinginnya dan juga sakitnya hujan saat menjatuhkan dirinya ke bumi. Dia ingin melepaskan rasa sakitnya juga, bersamaan dengan hujan yang turun.

Air mata Taehyun menerobos keluar, berkamuflase dengan butiran air langit yang jatuh ke bumi. Mencoba mengeluarkan semua isakan pilu dan juga menyakitkan yang menggebu dalam dadanya. Rintihan tipis, terdengar bersahutan dengan kerasnya suara air hujan. Rasanya benar-benar sakit. Sepertinya beberapa juta serpihan kaca, memaksa keluar mengoyak tubuhnya.

Taehyun menjatuhkan tubuhnya di aspal jalanan sepi. Mencoba membuat tubuhnya memeluk derasnya hujan yang menghujam bumi. Merasakan tusukan tipis benda bening langit yang sepertinya juga merasakan sakit seperti dirinya. Sakit yang berbeda, dengan rasa sakit yang sama. Bahkan benda bening itu rela jatuh untuk melampiaskan rasa sakit ke buminya.

Suara teriakan, menggema beriringan dengan melodi menyakitkan milik hujan. Tiba-tiba saja, hujaman air langit berhenti berusaha menembus tubuhnya. Taehyun membuka matanya. Melihat sebuah kaki dengan tanpa alas, terhias di depan pandangan matanya.

“Kamu tidak apa-apa?”

Taehyun berusaha menetralkan napasnya. Dia mendongakkan kepalanya, melihat seseorang berwajah manis dengan payungnya, menatapnya khawatir. Seperti seorang malaikat datang di depannya. Apa dia sedang bermimpi? atau memang salah satu malaikat surga datang untuk menjemputnya?

“Hei? Kok melamun? Kamu tidak apa-apa?”

Seseorang itu melambaikan tangan, membuyarkan lamunan mengada-ada Taehyun. Taehyun mengerjapkan matanya. Berusaha menetralkan mimik mukanya, dan berdiri dari duduk pilunya.

“Gua gapapa”

“Aku tidak yakin. Ayo kita berteduh dulu. Kamu basah!”

Orang itu langsung menarik tangan Taehyun, tanpa menunggu jawaban persetujuan dari laki-laki itu, dan membawanya ke sebuah toko kecil yang masih terlihat terbuka dengan cahaya tipis yang menyinarinya.

“Duduk dulu. Aku buatkan teh hangat!”

Taehyun terdiam, memerhatikan orang itu berlarian kecil masuk ke area dalam toko. Hanya beberapa menit saja, orang itu hadir kembali membawa secangkir minuman penuh uap dan satu handuk kecil.

“Maaf di sini tidak ada baju ganti, tapi kamu bisa keringkan sedikit menggunakan ini. Jangan lupa diminum tehnya agar tidak masuk angin!”

Orang itu tersenyum, sambil mengode Taehyun agar menuruti perintahnya. Taehyun menghela napasnya panjang.

“Lo siapa? Kenapa tiba-tiba banget dateng?”

“Aku kebetulan hendak menutup toko, dan melihat kamu berteriak aku pikir kamu kesakitan. Benar kamu tidak apa-apa?”

Taehyun tersenyum tipis, “Raga gua gapapa kok. Tapi jiwa gua engga...”

“Dan kamu melampiaskan semua itu ke hujan?”

Taehyun mengangguk, sambil mengaduk-aduk teh panas di depannya.

“Langit memilih diam, dan mengeluarkan segala kekecewaannya ke bumi melalui air matanya. Sama kayak gua, yang memilih berjuang menahan rasa sakit sendirian, di temani oleh rasa sakit milik langit”

Orang itu terlihat mengulum bibirnya.

“Semua tampak baik-baik saja saat seseorang mencoba membuat hari-harinya cerah. Tapi dibalik senyum cerah, seseorang mampu menyembunyikan beribu-ribu rasa sakitnya dalam benaknya. Dan membiarkan dirinya, bahkan jiwanya terluka demi kebahagiaan itu. Benar kan?”

Taehyun menoleh, melihat senyum manis seseorang itu terbentang menenangkan bagai obat yang menyembuhkan rasa perih di dadanya.

“Bohong jika aku tidak kenal kamu. Apalagi saat masker kamu lepas”

Taehyun sadar, jika dia menarik maskernya sebelum menyiksa dirinya sendiri di bawah guyuran rasa sakit milik langit. Bagaimana bisa dia seceroboh ini?

“Tapi aku bukan orang yang akan membocorkan hal ini. Aku Beomgyu. Makhluk biasa yang sering melihat seorang model ternama di televisi, dan tiba-tiba bertemu tanpa rencana di luar takdir sempurna”

Taehyun terdiam, “Lo penggemar?”

Beomgyu tertawa, “Bukan. Hanya seorang yang sedang menggunakan waktu luangnya untuk menonton acara televisi, sembari menunggu rejeki datang membeli sesuatu di sini”

Taehyun diam. Memperhatikan sebuah toko kecil yang bangunannya tidak sampai berukuran 4×4, dengan berisi berbagai macam barang-barang pokok yang mungkin saja di beli oleh orang-orang. Tetapi di tengah kota besar ini, sepertinya keberadaan bangunan ini tak terlihat. Apalagi tempatnya berada di jalanan sepi yang jarang sekali dilewati orang-orang.

“Tapi kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan membuka mulut tentang semua hal yang terjadi. Karena aku tau, sesempurna hidup manusia, pasti ada sisi kelam yang menunjukkan sifat asli orang itu. Jiwa kuat dan penuh wibawa, dalam sekejap dapat berubah menjadi jiwa lemah nan rapuh, yang bisa kapan saja terjatuh hanya karena tertiup angin”

“Lo tau masalah gua?” Tanya Taehyun setengah kebingungan karena perkataan laki-laki itu.

Beomgyu menggeleng, “Hanya sebuah terkaan tak jelas. Tetapi jika itu memang terjadi, aku harap kamu sudah paham jika dunia memang suka mempermainkan hidup dan alur takdir seseorang”

Taehyun menganggukkan kepalanya, “Itu semua bener. Bahkan di usia gua yang baru menginjak delapan tahun, gua harus mendapat perlakuan buruk karena kata perpisahan dari bokap sama nyokap”

“Di usia segitu juga, kondisi mental mama gua mulai terganggu dan mulai nyiksa gua sampe sekarang. Perlakuan yang awalnya manis, berubah menjadi seperti iblis. Mama nyuruh gua kerja dari kecil, jadi model sampe sekarang. Bahkan sampe ngabaiin pendidikan kuliah gua demi ga liat gua santai di rumah. Mama nganggep gua penyebab semua atas perselingkuhan papa dulu, dan nyalahin atas semua itu”

Beomgyu terdiam. Dia tidak berharap laki-laki itu menceritakan kisah hidup kelamnya di sini.

“Aku tidak pernah berharap kamu bercerita semua ini. Tapi aku tau kamu hebat. Seorang Kang Taehyun, model yang selalu tersenyum di depan kamera, bahkan mampu menyembunyikan lukanya selama ini. Kamu hebat!”

Taehyun tersenyum simpul, “Baru kali ini gua denger pujian itu secara langsung. Makasih, Beomgyu? Maaf juga gua ga sadar cerita semua masalah gua. Tolong rahasiakan ini ya?”

Beomgyu mengangguk, “Kamu bisa percaya kepadaku. Aku hanya seorang makhluk biasa, yang tidak mempunyai hak sama sekali untuk menghancurkan hidup seorang idola seperti mu”

“Idola apanya? Bagaimana bisa idola mempunyai hidup sekelam ini?”

Taehyun tertawa. Membuat semburat cahaya matahari cerah, terlihat tipis menghiasi wajahnya. Beomgyu tersenyum lebar. Senyum laki-laki itu terlihat lebih tulus dari sebelumnya.

“Jujur aja impian kecil gua dulu bukan jadi seseorang yang terkenal kayak sekarang. Tapi kenangan pahit itu, menelan semua impian gua. Gua pengen balik lagi hidup biasa. Hanya seputar kuliah buat ngejar cita-cita, sambil kerja paruh waktu di coffee shop pasti menyenangkan”

“Tetapi, Tuhan sepertinya tengah mengatur ulang takdirmu”

Taehyun menoleh, “Maksudnya?”

“Taehyun.. kamu sadar atau tidak, tetapi Tuhan sudah merencanakan semua ini. Karena dia sadar jika kamu bukan manusia yang lemah. Tuhan hanya ingin kamu bisa merubah takdir yang dia jalankan. Dan dia juga ingin tahu, bagaimana seorang Kang Taehyun berjuang merubah hidupnya yang muram”

Taehyun terdiam. Dia sama sekali tidak pernah berpikir untuk merubah hidupnya. Bahkan untuk memberontak saja, dia tidak mampu. Bagaimana bisa dia bisa berjuang merubah hidup kelabunya ini?

“Secercah cahaya, perlahan mungkin akan hadir merubah hidupmu. Tetapi juga butuh keyakinan dalam diri kamu sendiri, Taehyun. Aku yakin kamu bisa. Kamu tidak mau kan hidupmu harus berjalan seperti mainan remote control yang terus dikendalikan? Aku tidak menyuruhmu memberontak hidupmu, hanya merubah sedikit pemikiranmu tentang hidup. Hidup bukan hanya seputar pasrah dan menyerah. Kamu masih punya banyak harapan untuk melanjutkan hidupmu sendiri, sesuai dengan keinginanmu”

Taehyun termenung. Semua perkataan laki-laki yang baru saja dia temui beberapa menit lalu, benar adanya. Dia selama ini hanya diam, menurut semua kendali dari mamanya. Dia sama sekali belum pernah mencoba menolak, hanya karena dia merasa semua itu akan sia-sia. Tapi dia harus berterimakasih kepada laki-laki ini, yang datang dan menyadarkan semuanya. Jika dia tidak bertemu dengan laki-laki ini, mungkin dia akan terus menangis dan berteriak dalam pelukan hujan sampai malam memakan tangisnya, tanpa ada perubahan di dalam hidupnya.

“Makasih”

“Tidak perlu berterimakasih. Jika kamu butuh tempat bercerita, kamu bisa datang ke sini. Tidak akan ada orang atau wartawan yang akan melihatmu. Dan aku juga bukan orang yang akan membocorkan semua itu. Aku bisa berjanji” Ucap Beomgyu sambil mengangkat satu jari kelingkingnya.

Taehyun terkekeh kecil, “Lo lucu. Makasih lagi, Beomgyu”


Hari ini Taehyun memilih menikmati senja, setelah kuliahnya dengan melangkahkan kakinya ke arah tempat yang kemarin dia kunjungi. Sebuah toko kecil, hadir dalam pandangannya dan membuat semburat senyum kecil timbul menghiasi wajahnya.

“Sore, Beomgyu”

Beomgyu tersenyum menyambut kehadiran laki-laki itu.

“Kamu datang? Apa tidak ada jadwal?”

Taehyun menggeleng, “Sebenernya sih ada.. Tapi kata lo, gua harus berjuang sama keinginan gua buat ngelawan semuanya kan?”

Beomgyu tertawa kecil sambil membawa satu botol minuman ke depan laki-laki itu.

“Bagaimana dengan mamamu?”

“Gua bakal urus itu nanti. Buat sekarang gua mau napas dulu bentar”

Beomgyu tersenyum tipis. Dia tidak tau jika laki-laki itu cepat memilih pilihannya. Bahkan dia tidak menyangka jika waktu tugasnya akan secepat ini.

“Gua boleh kan numpang ngerjain tugas di sini? Tugas gua numpuk banget sampe hampir dikeluarin dari kampus”

Tawa Taehyun terdengar, bercampur dengan perih yang tertahan. Beomgyu hanya mengangguk, sambil membiarkan laki-laki itu membuka buku-bukunya dan juga laptopnya. Kemudian mulai mengabaikan kehadirannya.


“Gua tuh dulu sebenernya pengen ikut papa, tapi hak asuh kemungkinan besar jatuh ke mama. Setelah perpisahan keduanya, papa dikabarkan bunuh diri di apartemen miliknya. Jujur gua bingung gatau harus apa, karena papa bilang mau buktiin sesuatu biar mama percaya, tapi malah berakhir begitu”

Taehyun tersenyum kecut, sambil melihat jalanan sepi di depan sana.

“Kamu percaya tidak, jika papamu sudah membuktikan sesuatu kepada mama kamu?”

Taehyun menoleh. Menatap bingung Beomgyu.

“Maksudnya?”

“Papa kamu, mempertaruhkan nyawanya untuk membuktikan bahwa dia benar-benar menjaga kepercayaan pernikahannya. Tetapi mama kamu masih belum bisa percaya, dan setelah kematiannya baru mama kamu menyesal karena tidak mempercayai papa kamu dan berakhir seperti ini. Mama kamu menyalahkannya semuanya ke kamu”

Taehyun menatap tak percaya laki-laki di sebelahnya itu.

“Lo bercanda ya? Ngarang banget dah..”

Beomgyu menggeleng, “Tetapi jika kamu tidak bisa mempercayai hal itu, itu hak kamu. Aku tidak memaksa kamu mempercayaiku”

Taehyun terdiam. Kenapa hatinya ingin memberontak dan mencoba mempercayai laki-laki itu? Aneh..

“Gua ga pengen percaya. Tapi jujur gua bingung. Lo kenapa tiba-tiba hadir di hidup gua dan perlahan merubah kepikiran gua?”

Beomgyu tersenyum, “Takdir?”

Taehyun mengangguk, “Iya juga yaa.. btw makasih? Mungkin kalo kemaren lo ga dateng, gua masih pasrah sama jalan hidup gua”

Beomgyu mengangguk, “Terima kasih kembali, Taehyun”

Taehyun tersenyum tipis. Kenapa nada bicara laki-laki itu sungguh menggemaskan? Dan wajahnya bahkan sangat manis. Dia belum pernah melihat laki-laki seperti itu. Bahkan wajah bulatnya, dengan mata berbinarnya mungkin saja mampu membius siapa saja yang berbicara dengannya, terutama dirinya.

“Oiya lo mau makan ga? Aman kok ga bakal ada media yang liat”

Beomgyu mengangkat satu alisnya, “Boleh. Di mana?”

Taehyun tersenyum, “Tutup dulu sana tokonya. Gua nyari taksi dulu”


Sebuah semburat keunguan, menjadi pemandangan indah menyapu pandangan mata. Dengan suara gulungan ombak, ikut hadir menemani malam kedua orang itu. Taehyun membawa Beomgyu ke sebuah pantai yang cukup jauh dari jangkauan kamera yang selama ini mengikutinya. Memesan beberapa makanan, dan menikmati pemandangan laut di depan sana.

“Gua kalo stress di rumah, gua bakal ke sini. Tempat ini malah udah kayak rumah gua. Beberapa penjual di sini bahkan udah deket sama gua, saking seringnya di sini. Salah satunya bibi tadi, dia bahkan udah nganggep gua kayak anak sendiri” Ucap Taehyun sambil tersenyum lebar.

Beomgyu paham. Terlihat dari gemerlap bintang di mata Taehyun, menandakan bahwa laki-laki itu sangat bahagia berada di sini. Dia bersyukur masih ada satu tempat yang bisa Taehyun anggap rumahnya. Walaupun tempat itu bukan rumah aslinya.

“Makan gih, sebelum dingin!”


Gulungan ombak, terlihat sempurna dari bibir pantai. Taehyun menutup matanya, sembari tiduran di atas pasir putih. Menikmati gemericik ombak yang menenangkan pikirannya, dengan gemerlap cahaya bintang ditemani bulan di langit gelap malam.

“Bulannya cantik”

Beomgyu mengangguk, “Iya, terlihat sangat sempurna”

“Kayak lo”

Beomgyu tersentak, dan langsung melihat ke Taehyun yang menatapnya.

“Lo percaya ga, sama cinta pandangan pertama?”

Taehyun menatap Beomgyu yang diam.

“Daripada percaya, aku lebih memilih untuk tidak akan pernah mempercayainya”

“Lo ga percaya?”

Beomgyu menggeleng, “Tidak”

Taehyun mendengus, “Padahal gua lagi ngalamin itu, bisa-bisanya lo ga percaya”

“Sama siapa?”

Taehyun mengangkat satu alisnya, kemudian tertawa. Membuat Beomgyu kebingungan.

“Sama lo, bodoh!”

Beomgyu terdiam. Bagaimana bisa? Apa yang harus dia lakukan?

“Maaf, tapi kenyataannya gitu. Gua ga berharap lo bales semua ini kok. Gua cuma pengen ngungkapin aja, gausah dipikir”

“Siapa yang bilang aku tidak bisa membalas?”

“Lo mau?”

Beomgyu hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum. Membuat tanda tanya besar hadir di benak seorang Kang Taehyun. Apa maksudnya? Tapi laki-laki itu benar-benar terlihat menggemaskan apalagi saat dia menyatakan isi hatinya tadi. Andai di terima, mungkin Taehyun sudah melompat memeluknya saking gemasnya.

Tetapi hal itu hanya angan-angan saja...


Taehyun masih menempelkan senyum tipisnya pada wajahnya, saat melihat seseorang yang dia kenal tengah menatapnya tajam di depan pintu rumah.

“Apa yang kamu lakukan?! KENAPA KAMU BERANI SEKALI TIDAK HADIR DALAM ACARA PENTING TADI?!!”

Taehyun menghela napasnya, “Taehyun harus ngerjain tugas, kalo engga aku harus keluar dari kampus”

“SIAPA YANG PERDULI DENGAN KULIAHMU? LEBIH BAIK JIKA KAMU KELUAR DAN FOKUS DENGAN KARIRMU KANG TAEHYUN!!”

Taehyun menatap mamanya tak percaya.

“Mama pengen aku keluar dari kampus? Kenapa ga nyuruh aku keluar dari dunia model aja biar bisa fokus ke cita-cita ku jadi astronom?”

Satu tamparan berakhir di pipi putih Taehyun. Membuat semburat merah dengan membawa rasa perih, merambat ke pipinya.

“BERANINYA KAMU?! DASAR ANAK PEMBAWA SIAL!”

Taehyun terkekeh tipis, “Jadi bener ya? Mama nyalahin aku atas kematian papa? Kenapa mama ga nyalahin diri aja karena gabisa percaya papa? KENAPA MAMA MALAH NYALAHIN AKU ATAS SEMUANYA?!”

Air bening perlahan menetes melewati pipi, dari laki-laki yang sudah menahan semua rasa sakitnya selama ini.

“KENAPA MAMA SELALU LAMPIASIN SEMUA PENYESALAN MAMA KE AKU? AKU YANG GATAU APA-APA KENAPA HARUS TERKENA IMBAS SEMUA KESALAHAN MAMA? KENAPA?!”

Satu tamparan kembali hadir, membuat pipi Taehyun kian memerah.

“KAMU–!!”

“KENAPA? Mama bakal nampar aku lagi? Atau mau mukul aku pake barang-barang di rumah lagi? TERSERAH!! Lebih baik aku mati daripada hidup di rumah kayak neraka ini!!”

“T-taehyun?”

“Mama tau ga sih selama ini aku sering bolak-balik rumah sakit karena kekerasan yang dilakuin mama? Aku selalu berusaha nutupin semua luka biar media ga tau, dan bertindak bahwa semua baik-baik aja. Capek ma, TAEHYUN CAPEK!!”

“Mama sekali aja dengerin Taehyun bisa ga sih? Jangan anggep Taehyun hanya sebuah pembawa sial karena kematian papa. Taehyun juga anak mama, darah daging mama sendiri!” Suara Taehyun melemah, diiringi isak tangis yang perlahan mulai hadir, memenuhi ruang sepi halaman rumah.

“Taehyun pengen, sekali aja ngerasain disayang mama. Tapi kayaknya gabakal pernah bisa. Mama aja gapernah mau dengerin perkataan Taehyun, apa yang dirasain Taehyun selama ini mama aja acuh”

“Aku beberapa kali retak tulang, mama gatau kan? Kepala aku bocor karena pukulan guci sebulan lalu juga mama gatau. Karena apa? Mama nganggep Taehyun hanya pembawa sial yang tidak berguna. Mama sekali saja gapernah nanyain keadaan Taehyun, dan bikin Taehyun sebagai alat penghasil uang. Taehyun capek ma. Taehyun pengen nyerah..”

Mama Taehyun terdiam. Melihat tubuh kering anaknya itu, perlahan melemah menyentuh tanah, dengan isakan tangis yang terus mengirim setiap rasa sakit yang dia lontarkan melewati bibir yang selama ini hanya membisu, melawan rasa sakitnya sendiri.

“Taehyun pengen nyerah ma.. Tapi ada seseorang yang percaya kalo Taehyun kuat. Dia percaya kalo aku bisa berjuang sama pilihanku sendiri. Dia yang nyadarin Taehyun kalo ini hidup Taehyun, aku berhak nentuin jalan hidupku sendiri. Dan kayaknya ini hari yang tepat buat lepasin semua kendali mama. Taehyun pengen hidup di bawah kendali Taehyun sendiri. Terserah mama mau marah atau maki-maki Taehyun bakal tetep ada dipilihan Taehyun sendiri. Taehyun bakal pergi, aku pamit ma. Maaf”

Taehyun mengusap air yang menggenang di pelupuk matanya, kemudian bangkit dari duduknya. Melihat sekilas mamanya, sebelum melangkah pergi. Tetapi, baru beberapa langkah ke arah pagar rumah, dia merasakan sebuah tangan menggenggam hangat pergelangan tangannya.

“Jangan pergi. Mama mohon Taehyun jangan pergi tinggalin mama”

Suara tangis penuh penyesalan terdengar memilukan. Taehyun mengigit bibirnya, saat melihat binaran tulus penuh penyesalan terpancar di mata mamanya.

“Ma?”

“Maafin mama. Maaf mama terus menyalahkan kamu atas semua ini. Maaf maaf maaf”

Taehyun langsung memeluk tubuh kurus wanita yang hampir saja terjatuh karena penyesalannya.

“Maafin Taehyun juga. Maaf”

“Taehyun kenapa minta maaf? Semua ini kesalahannya mama. Sekarang terserah kamu mau ngapain, tapi tolong jangan tinggalin mama sendiri”

Mama menatap Taehyun, kemudian mengusap lembut surai satu-satu anaknya itu.

“Maafin mama ya?”

Taehyun menganggap, kemudian kembali memeluk wanita itu.

“Maafin Taehyun juga, ma”

Kini, warna dalam hidup Taehyun kembali. Warna biru dan kelabu yang selama ini menemaninya, sekarang mempunyai banyak teman baru. Warna-warni hidup perlahan mengisi kehampaan takdir Taehyun selama ini. Dia harus berterimakasih kepada laki-laki manis itu karena membantunya mengembalikan semua warna di hidupnya.

Walaupun hanya sementara.


Berita pengunduran diri seorang model ternama Kang Taehyun dari dunia permodelan, sukses membuat seluruh penjuru kota ramai. Tak hanya di kota, di sebuah toko kecil yang menyiarkan saluran nasional, bukan ramai tetapi ada seorang laki-laki yang tersenyum tipis mendengar berita panas itu. Senyumnya memiliki arti. Arti yang mungkin saja berdampak besar bagi kehidupan seorang Kang Taehyun selanjutnya.

Taehyun tersenyum senang saat keluar dari area konferensi. Mamanya di sebelahnya hanya bisa menggeleng sambil tertawa kecil melihat kegembiraan anaknya.

“Ma? Aku pengen nemuin seseorang habis selesai ngampus boleh?”

“Yang kamu ceritain kemarin?”

Taehyun mengangguk. Mamanya hanya mengangguk menyetujuinya.

“Dianter pak supir yaa?”

“Iya ma!'


Taehyun melangkahkan kaki jenjangnya turun dari mobil, dan langsung disambut dengan angin malam yang mengangkat anak rambutnya. Senyumnya terlihat sangat cerah, mengalahkan temaramnya lampu taman yang ada di tempat itu. Bahkan sinar rembulan juga akan minder melihat senyum cerahnya.

Tetapi senyumnya tak bertahan lama, saat melihat bangunan toko yang masih dia kunjungi kemarin, sudah menghilang rata dengan tanah. Taehyun mengelilingi pandangannya ke penjuru tempat sepi ini, namun nihil semuanya seperti tidak ada kehidupan seperti kemarin.

“Den Taehyun yakin ini tempatnya? Setau bapak, tempat ini sudah lama sepi begini karena penggusuran satu tahun lalu”

“Bapak yakin?”

Pak supir mengangguk, “Iya den. Bapak bahkan pernah membicarakannya dengan aden kan?”

Taehyun membisu. Dia benar-benar lupa ini adalah tempat penggusuran, oleh karena itu tempatnya sangat sepi dan sengaja dia gunakan untuk menenangkan pikirannya. Kenapa dia tidak sadar?

Untuk bangunan dan..

Laki-laki manis itu....

Jadi dia siapa?—


Malam ini, sunyi tanpa arti. Taehyun melamun di balik balkon kamarnya, sembari mengaduk-aduk kopinya yang telah mendingin dimakan angin malam dan membawa semua kenangan hangat ke arah gumpalan awan hitam yang berkumpul di langit.

Rintik air mulai turun menjadi pertanda langit sekali lagi memahami isi hatinya. Taehyun menarik napasnya paham, saat rintik air membasahi telapak tangannya yang terbuka. Tiba-tiba saja selembar surat tanpa pemilik, jatuh tepat di tangannya. Taehyun mengangkat satu alisnya, sembari berusaha mencari pemilik surat itu. Tetapi dia sadar. Kamarnya berada di lantai tiga, tidak mungkin ada surat nyasar ke sini. Lalu surat dari mana?

Namun rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Dia perlahan membuka surat putih itu, sebelum terdiam karena aroma surat ini benar-benar familiar. Aroma familiar khas laki-laki manis itu. Taehyun yakin ini dari Beomgyu. Dia dengan cepat membaca isi surat, sebelum mulutnya kelu membisu karena isi surat itu.

Halo Taehyun?

Maaf jika aku tiba-tiba menghilang begitu saja, tetapi tugas singkatku di sini telah usai. Aku kira tugas ini akan berakhir lama, tetapi sepertinya takdirmu lebih menginginkan perubahan lebih cepat. Apa kamu percaya dengan keberadaan Guardian Angel? Iya malaikat penjaga yang ditugaskan untuk mendampingi manusia yang sedang tersesat dalam ruang takdirnya. Salah satunya aku. Tugasku adalah membuatmu mengerti apa artinya perjuangan hidup. Perjuangan untuk meneliti jalan hidupmu sendiri, tanpa terpaku dengan ucapan dan paksaan mamamu. Ya lebih mudahnya, adalah mengubah jalan takdirmu. Mungkin memang terkesan aneh dan tidak sopan, tetapi kamu mempunyai hak untuk melanjutkan hidup sesuai dengan keinginanmu sendiri. Dan itu berhasil. Aku senang saat tahu, kamu memilih mundur dari dunia model dan memilih fokus dengan pendidikan kuliah mu untuk menjadi astronom yang hebat. Aku yakin kamu bisa! Aku tunggu seorang astronom Kang Taehyun! Tetapi maaf, jika aku tidak bisa melihatmu merajut mimpimu. Tugasku di sini telah usai. Tugasku untuk Kang Taehyun telah berakhir, dan Tuhan memintaku untuk kembali. Maafkan aku. Jangan berharap ke seseorang tak nyata sepertiku, Taehyun. Kamu berhak mencintai seorang manusia yang sama sepertimu. Aku hanyalah sebuah semburat cahaya yang tak bisa tergapai, dan juga tak nyata. Maafkan aku, tetapi aku juga tengah berusaha keras untuk tidak membalas semua rasamu, namun gagal. Dan Tuhan harus bertindak menarikku kembali, sebelum sebuah alur takdir makhluknya semakin kacau. Dan membuat Dia harus menghanguskan sebuah cahaya tak sadar diri, penuh dosa sepertiku. Mungkin jika kamu membaca ini, aku sudah berada di tempat yang tidak bisa didefinisikan. Maafkan aku, sekali lagi maafkan aku. Maafkan aku yang tak nyata ini karena telah berdosa, mencinta salah satu hamba nyata dari Tuhanku. Maafkan aku. Aku mencintaimu, Taehyun. Dalam ketidak nyataanku. Dan selamat tinggal. Aku menunggu kabar baik dari takdirmu selanjutnya! Tolong jaga dirimu selalu, Kang Taehyun.

—from Beomgyu, ur guardian angel<3

Surat di akhiri, dengan beberapa tetesan air mata bercampur air langit yang membasahi lembaran secarik surat itu. Surat yang hanya bersifat sementara—seperti malaikatnya, sebelum menghilang seperti warna-warna dalam hidupnya semalam kemarin.

Dia tidak menyangka jika laki-laki manis itu, yang sempat mengisi beberapa jam dalam hidupnya ternyata benar-benar berbeda. Bagaimana bisa dia mempercayai jika laki-laki itu adalah seorang malaikat penjaga, selain dengan binaran bintang di mata bulatnya. Dan juga wajahnya yang benar-benar manis membius.

Dan kini malaikat penjaganya, Beomgyu nya sudah pergi. Malaikat penjaga yang secara tidak sadar sudah ikut membawa perasaannya pergi. Pergi jauh kembali, entah ke tempat awalnya atau ke tempat barunya untuk menebus kesalahannya.

Jadi, untuk apa dia memberontak melawan takdirnya seperti kemarin, jika laki-laki manis itu, alasannya malah pergi. Apa arti hidup untuknya untuk saat ini. Hanya kembali ke dua buah warna biru dan kelabu yang tak berarti, dan tidak berguna.

Atau dia harus menyusul laki-laki manis itu untuk mengembalikan semua arti dari warna-warna dalam hidupnya..?

—end

Grey

Jake menatap pantulan kaca kosong di depannya. Entah sudah berapa jam dia berdiri menatap pantulan kosong itu. Dia bingung. Entah kenapa dia bisa tiba-tiba menjadi tembus pandang. Terakhir kali yang dia ingat, dia berada di mobil menuju ke rumah Sunghoon, setelah itu pandangannya memburam dan terbangun dengan tubuh yang sudah menjadi samar.

Jake menghela nafas. Dia masih ada di apartemen miliknya. Ralat, apartemennya hasil patungan dengan roommatenya Jay. Apartemen ini tampak sepi, karena Jay pagi-pagi sekali sudah keluar entah kemana. Setelah mendapat telepon dari seseorang, Jay langsung pergi meninggalkan beberapa pertanyaan utuh di kepalanya.

Sudah berapa hari dia seperti ini. Jake benar-benar tidak sadar. Terakhir kali dia ingat kemarin dia bangun di kamarnya, dan tubuhnya sudah menjadi transparan seperti saat ini. Jake bingung. Sebenernya apa sih yang terjadi dengan dirinya.

Sunghoon, laki-laki itu tengah memejamkan matanya sembari mendengarkan celotehan managernya. Hampir setengah jam dengan posisi yang sama. Sebelum suara notifikasi ponselnya membuatnya terusik dan membuka matanya, melirik benda pipih di sebelahnya itu.

Nama Jay, berada dalam barisan paling atas notifikasinya. Sunghoon melirik sekilas managernya di depan kemudian pamit untuk mengangkat telepon dari laki-laki itu.

“Kenapa Jay?”

”Ada kabar dari kepolisian”

Seunghoon melebarkan matanya.

“Sumpah? Gimana?!” Jawabnya antusias.

”Katanya ini mereka nemuin potongan cctv mobil Jake”

“Terus?”

”Agak gajelas sih, ini arah ke rumah lo tapi tiba-tiba cctvnya rusak jadi masih setengah clue nya”

Sunghoon menghela nafasnya panjang. Kepalanya tiba-tiba berdenyut seperti mencoba mengingat sesuatu.

“Akh”

”Hoon? Lu gapapa?”

Sunghoon memegang kepalanya.

“G-gue gapapa kok”

”Jangan bilang minggu ini lo lupa check up?”

Sunghoon teringat. Jay benar, minggu ini dia lupa check up karena jadwal pemotretannya benar-benar padat.

”Hoon, lu boleh khawatir sama Jake, tapi kesehatan lo juga penting. Lo juga sih ngapain sih nyium keramik dari lantai 2?!!”

“Ya mana gua tau anjir gainget gue ngapain sampe bisa jatuh gitu”

”Bener kata Jake lo tuh ceroboh banget!! Yaudah gua mau ngomong sama pak polisi dulu, lo jangan lupa minta anter bang Hee ke dokter”

“Yaa”

Sunghoon menutup teleponnya. Kepalanya terus berdenyut sampai managernya keluar dan memergokinya tengah memegang kepalanya.

“Ya Tuhan!! Sunghoon lo kenapa?!!”

“Shh, gapapa bang Cuma pusing aja”

Heeseung, manager Sunghoon jelas panik. Sunghoon tadi baik-baik saja kok sekarang malah sekarang kayak gini.

“Efek jatuh tiga minggu lalu masih kerasa ya? Mau ke dokter?”

Sunghoon menggeleng.

“Gausah. Anter gue pulang aja bisa?”

Jake melihat mobil putih memasuki area rumah. Mobil yang sangat familiar di setengah memori Jake yang masih tersisa.

“Itu mobil kak Hee gasih?”

Jake mengerutkan keningnya saat melihat Heeseung buru-buru keluar, kemudian beralih ke pintu penumpang dan membantu Sunghoon keluar.

“Sunghoon kenapa?”

Jake mengikuti kedua orang itu masuk rumah Sunghoon. Entah kenapa dia juga tiba-tiba ada disini. Jake tadi hanya sendirian berkeliling apartemen kosong miliknya dan Jay, tetapi tiba-tiba sesuatu seperti tengah menariknya dan dia berakhir disini.

Jake menatap Sunghoon yang tengah menutup mata di ranjangnya. Bibir pucat Sunghoon dan kulit saljunya yang memucat, memperlihatkan dengan jelas jika laki-laki itu tidak dalam kondisi baik.

Jake tersenyum tipis. Berusaha menggapai kening Sunghoon lalu mengeceknya. Rasa hangat samar menjalar di tubuh abu-abunya. Dia menghela nafas. Menarik ujung bibirnya sembari merendam semua pikiran kalutnya saat ini. Andai saja dia tidak menjadi tembus pandang, mungkin dia sekarang sudah mengomeli laki-laki itu karena tidak menjaga tubuhnya.

Jake masih sama, menatap wajah dingin Sunghoon dengan kepingan memori yang masih bertahan. Dia menatap Sunghoon dengan tatapan aneh, seperti ada yang mengganjal dari diri laki-laki itu, entah apa Jake juga tidak tau.

“Hoon.. kenapa aku jadi abu-abu? Kenapa kamu gabisa liat aku lagi??”

Jake tersentak, lalu mengangkat satu alisnya saat melihat tidur Sunghoon terganggu. Dia mengelus rambut hitam laki-laki itu, mencoba membuat Sunghoon merasa nyaman walaupun usapannya hanya terasa seperti angin lalu. Ya bagaimana bisa bayangan atau jiwa menggantung ini bisa menyentuh benda hidup coba?

Sunghoon membuka matanya. Sontak membuat Jake disebelahnya otomatis memundurkan tubuhnya. Sunghoon langsung bangun dari tidurnya, kemudian memutar pandangan normalnya ke sekeliling kamarnya yang tampak kosong.

Dia bingung. Dia tadi benar-benar merasakan aura kekasihnya, Jake disini. Tetapi kenapa semuanya tampak kosong? Apa jangan-jangan tadi hanya mimpi? Tapi sentuhan Jake tadi benar-benar seperti nyata. Sentuhan samar jemari laki-laki itu yang bergesekan dengan rambut kelamnya, benar-benar terasa nyata. Tapi sepertinya dia hanya bermimpi. Tidak mungkin Jake tiba-tiba kembali.

Jake menatap Sunghoon yang tampak linglung. Ikut bingung melihat Sunghoon yang seperti sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia merubah posisinya. Menggeser tubuhnya agar bisa dengan leluasa melihat atau sekedar mencoba membaca pikiran laki-laki di depannya.

“Jake”

Jake terkejut. Dia sontak melihat ke jari-jarinya saat Sunghoon memanggil namanya. Tetapi semuanya masih tampak sama, masih abu-abu transparan. Dia mendongak, kembali melihat bingung Sunghoon yang melamun entah kearah mana.

“Jaeyun.. kamu kemana?”

Jake menarik nafasnya lega. Hampir saja dia jantungan karena mengira Sunghoon dapat melihatnya, dalam kondisi abu-abu tak nyata ini. Jika terjadi, mungkin dia akan benar-benar berterima kasih pada Tuhan jika Sunghoon bisa melihatnya dalam wujud ini walaupun hanya beberapa menit saja. Jake berharap harapannya terwujud. Semoga saja...

Sunghoon melihat asal aura hangat samar yang dia yakini itu kekasihnya, Jake. Air matanya perlahan turun tanpa perintah yang jelas dengan iringan kepalanya yang mulai berdenyut kembali.

“Aku gatau, tapi aku rasa kamu hilang itu aneh. Aku juga ga inget hari dimana kamu hilang Jae. Aku bingung”

Jake terdiam. Memilih mengigit bibir bawah dalamnya sembari terus memperhatikan laki-laki yang tengah berbicara sendiri itu.

“Aku Cuma inget, terakhir aku cerita ke kamu kalau aku dipecat. Cuma sampai itu sebelum aku tau kamu menghilang”

Jake tersentak. Hah? Sunghoon pernah cerita itu kepadanya? Kapan? Kenapa dia tidak mengingatnya?

“Setelah itu aku jatuh dari lantai 2 gatau kenapa. Bangun-bangun dapet kabar kamu menghilang. Aku sempet bingung. Aku kira kamu memang sengaja hilang gamau ketemu aku, tapi ternyata engga. Tapi bukan itu aja yang aneh”

Jake menatap Sunghoon tajam. Memerhatikan Sunghoon yang terlihat ragu tetapi ingin terus membuka apa yang dia ingat, sebelum memori kecil itu benar-benar dihapus kembali.

“Tapi, kenapa saat aku siuman bang Hee udah ada di rumah sakit, bukannya aku udah dipecat? Terus tiba-tiba bang Hee datang bawa job baru. Aneh banget kan Jae?”

Jake sontak mengangguk.

“Aku juga bingung hoon”

Sunghoon melebarkan matanya. Jake kaget saat Sunghoon benar-benar melihat kearahnya. Bagaimana tidak, Sunghoon yang sebelumnya melihat asal ke depan sekarang benar-benar melihat kearahnya. Seolah-olah dia sudah terlihat sekarang.

“Jae kamu disini? Ini aku ga halusinasi kan aku barusan denger suara kamu Jaeyun?”

Jake menahan nafasnya. Bingung harus apa. Ini nyata kan? Gamungkin Sunghoon mendengar suaranya.

“Kamu bisa denger aku, hoon?”

Sunghoon tersentak. Dia mengangguk dengan jelas kearah suara Jake.

“Bisa!! Ini gue ga mimpi kan? Kamu beneran Jaeyun kan bukan hantu?”

Jake menghela nafasnya. Ya kan emang dia sekarang jadi hantu. Mau jawab apa lagi?

“Gue merinding. Ini beneran Jaeyun atau bukan sih??”

Jake menatap Sunghoon jengah. Dia menghela nafas saat melihat laki-laki itu mengangkat sebuah kalung salib miliknya tepat di depannya. Sunghoon pikir dirinya arwah jahat gitu? Jadi bakal kepanasan gitu? Hadeh..

“Beneran lah!! Aku juga gatau kenapa tiba-tiba jadi gini”

Jake menghela nafas. Menatap Sunghoon yang memegang kepalanya kembali.

“Hoon? Kamu gapapa?”

“Akh bentar. Aku kayak ngelupain sesuatu, tapi apa?”

Jake mengangkat satu alisnya. Bingung mau menjawab apa. Semua ini memang terasa ganjil. Dia bahkan tidak tau dia sudah meninggal atau belum, eh tiba-tiba jadi tembus pandang gini.

Sunghoon memijat pelipisnya. Rasa sakit kepalanya kian bertambah, seiring dia yang berusaha mengingat secuil memori penting yang sepertinya sengaja dihapus dari ruang di otaknya.

“Kalo sakit gausah dipaksa Hoon. Aku gapapa kok”

Sunghoon menatap ruang kosong yang dia yakini itu Jake. Sunghoon menggeleng.

“Lebih penting alesan kamu bisa hilang Jae, dari pada aku sakit kepala biasa gini”

Sunghoon menghela nafasnya. Masih tak menyerah, dia terus mencoba mengingat satu keping puzzle yang menghilang dari otaknya. Rasa sakit perlahan merambat ke seluruh tubuhnya. Sunghoon sedikit menggerang. Perlahan potongan kecil memori mulai muncul dan berkumpul di satu titik. Merangkai memori lama yang sempat menghilang dan membentuk memori baru.

Sunghoon melebarkan matanya. Kilasan memori yang sempat dia lupakan perlahan hadir di ingatannya. Setengah percaya setengah tidak. Dia mengingat seluruh reka adegan, alasan mengapa Jake bisa menghilang, tembus pandang seperti sekarang.

“G-gak, gamungkin!”

Sunghoon mengacak rambutnya asal, membuat beribu pertanyaan mendadak hadir kembali di kepala Jake. Sunghoon geram. Bagaimana bisa???

“Hoon?”

“Diem dulu Jake. Please... Gua masih ga percaya sama ini”

Jake mengerjapkan matanya tak paham.

“Ga percaya apa hoon?”

Sunghoon menarik nafasnya berat.

“Alesan kamu hilang”

Jake melebarkan matanya. Hampir saja berteriak senang, tiba-tiba kalimat selanjutnya dari Sunghoon mendadak membuatnya membisu.

“Itu.. gara-gara gue hiks”

Jake benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi selain melihat Sunghoon yang menduduk sembari terisak.

“M-maksud kamu apa hoon?”

“Alesan kamu gini itu gara-gara aku, Jae!! Aku, atau lebih tepatnya aku di masa dulu pernah bikin perjanjian konyol agar karir aku di masa depan terus berjalan mulus dengan menyerahkan jiwa suci ke pimpinan”

“Hah??”

Jake tak paham. Dia menatap Sunghoon yang masih saja enggan menatap kearahnya. Maksudnya apasih? Jiwa suci? Pimpinan??

“Jiwa suci itu kamu, Shim Jaeyun”

Jake melebarkan matanya. Nafasnya tercekat. Jake sontak mengigit bibir bawahnya. Pernyataan Sunghoon barusan benar-benar membuat dadanya bergemuruh. Dia benar-benar membisu. Bingung, kepalanya terasa berdenyut dan pandangannya mulai berkunang-kunang.

“J-jae kamu nyata”

Jake melihat kearah tangannya. Sunghoon tak berbohong, dirinya benar-benar terlihat nyata sekarang.

“Hoon?”

Suara jeritan terdengar memekikkan telinga. Bukan Sunghoon, tetapi dari arah Jake. Sunghoon terkejut saat melihat Jake memegang kepalanya. Perlahan, cairan merah menetes membasahi permukaan lantai. Sunghoon melebarkan matanya. Terdiam, tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.

Jake menatapnya dalam. Hampir setengah mukanya tertutup cairan kental itu. Buliran air bening menetes menuruni pipinya. Jake seperti melihat kilasan balik apa yang terjadi sebelumnya. Waktu seperti perlahan berputar, memutar video nyata apa yang terjadi sebelum dirinya menghilang. Dia yang awalnya tak percaya, sekarang memaksa otaknya menerima semua fakta itu. Sekarang dia yakin, perkataan Sunghoon tadi sepenuhnya benar.

Jake tersenyum, melihat kearah Sunghoon yang masih terdiam melihatnya tanpa berkedip. Matanya sembab, linangan air mata tak berhenti menetes sembari melihatnya. Jake mengulum bibirnya. Dia mendapatkan sebuah bisikan kilat. Bisikin yang memberitahunya apa yang akan terjadi, seperti yang memang seharusnya terjadi sekarang.

Jake melihat semburat cahaya putih menembus tipis melewati pandangan normal. Dia tersenyum saat melihat pantulan tubuhnya di kaca tepat di depannya, perlahan meremang. Kembali perlahan menjadi abu-abu dan terus membening.

“J-jaeyun?”

Jake tersenyum. Melihat dalam Sunghoon yang entah sejak kapan duduk bersimpuh tepat di depannya. Mencoba memegang tangan rapuh, setengah tak nyata miliknya.

“Maafin aku hiks please jangan pergi lagi”

Jake masih tersenyum. Mengusap lembut rambut Sunghoon sebelum menyesuaikan tubuhnya dengan laki-laki yang sudah mengisi hidupnya sekarang ataupun di masa lalu itu.

“Hoon? Jaga diri ya? Maaf Jaeyun gabisa nemenin hoon terus”

Sunghoon menggeleng. Jake hanya bisa terkekeh. Sunghoon dengan cepat menarik tubuh abu-abu Jake. Sunghoon benar-benar tidak ingin Jake pergi untuk entah keberapa kalinya. Itu kesalahan Sunghoon masa lalu tapi kenapa dia sekarang ikut terseret merasakannya?

Jake menitikkan air matanya. Berusaha membalas pelukan hangat laki-laki dingin itu sambil berusaha menahan tubuhnya yang terasa semakin ringan. Dia tidak ingin pergi, tetapi takdir memilih menyatukan mereka kemudian memisahkannya dalam sebuah perjanjian konyol yang entah sejak kapan terjadi.

Jake menarik nafasnya dalam. Tak berani membuka matanya dan melihat tubuh abu-abunya mungkin semakin tak terlihat. Memilih merasakan dekapan hangat dengan iringan isak menyesakkan Sunghoon. Jake menghela nafasnya sekali lagi. Nafasnya semakin memberat. Sepertinya beberapa detik lagi dia akan benar-benar menghilang, selamanya.

“Hoon? Aku Cuma mau bilang aku sayang kamu. Aku ga marah tentang ini. Ini kesalahan Sunghoon dulu bukan Hoonku sekarang. Tolong lanjutin hidup seperti biasa, aku pamit ya?”

Sunghoon menggeleng. Merasakan udara hampa yang dia peluk semakin tak terasa. Jake tersenyum tipis. Melepas pelukannya pelan sebelum melihat wajah bengkak Sunghoon.

“Jaeyunie sayang Hoonie. Jaga diri ya bae?”

“Engga!! Kamu gaboleh hilang lagi Jae gaboleh!!”

Jake tersenyum tipis. Benar-benar senyum terakhir yang mungkin bisa dirasakan maupun dilihat seorang Park Sunghoon. Perlahan tubuh abu-abu itu memutih kemudian menghilang seperti cahaya. Meninggalkan beribu-ribu luka penyesalan abadi di diri Sunghoon.

“Ga. Ini mimpi..”

“SHIM JAEYUN!!!”

Sunghoon tersentak. Merasakan bulir-bulir keringat turun deras di wajahnya. Nafasnya terlihat memburu. Sunghoon melihat ke sekeliling, ini kamarnya.

“Hoon? Kamu gapapa?”

Sunghoon menoleh kearah seseorang yang baru saja masuk ke kamarnya, dengan wajah khawatir. Sunghoon sontak berlari kearah orang itu kemudian memeluknya.

“Jaeyun hiks.. please jangan pergi lagi”

Jake, laki-laki itu mengangkat satu alisnya bingung.

“Kamu kenapa hoon? Mimpi buruk?”

Sunghoon menggeleng. Jake hanya bisa mengiyakan sambil menepuk punggung laki-laki itu agar tenang.

“Jangan pergi lagi ya Jae?”

Sunghoon menatap Jake yang masih bingung. Tetapi laki-laki itu hanya mengangguk menanggapi ucapannya barusan.

“Iyaiya.. emang aku pergi kemana?”

Sunghoon menggeleng. Memilih memeluk kembali Jake. Mimpinya barusan benar-benar seperti nyata. Dia tidak ingin kehilangan Jaeyunnya, lagi. Entah di dunia nyata maupun mimpi, dia benar-benar tidak ingin melihat itu lagi.

Tanpa dia sadari ada seseorang yang tengah tersenyum, menatap mereka dari jauh. Senyum manisnya bahkan sampai tidak dapat diartikan. Orang itu menatap Sunghoon maupun Jake dalam. Seperti melihat rekaman adegan drama romansa di televisi. Dia terkekeh tipis sebelum menghilang dan pergi.

”Itu hanya contoh kilasan sekilas mimpi burukmu, Sunghoon. Sebelum mimpi itu akan menjadi kenyataan dan Jake benar-benar akan menghilang dari duniamu, selamanya...”

–end

Beginning, end

Hari ini, hari yang terburuk bagi seorang Nishimura Riki atau yang kerap dipanggil Riki itu. Mulai dari dihukum bersihin wc karena telat, remidi fisika dan matematika bersamaan, gagal tes di kelas dance, diputusin pacar ah ralat mantan pacarnya secara tiba-tiba, sampai puncaknya...

“Mama sama papa bisa gasih sehari aja gausah ribut? Riki pusing tau dengernya!!”

Riki memijat pelipisnya, memilih keluar rumah kembali dari pada berdiam diri di tempat yang bisa membuatnya darah tinggi.


Semburat cahaya sore kemerahan setengah keoranyean, mulai terlukis abstrak di tatanan biru tata surya. Berbagi cerita indah dengan kumpulan awan putih kebiruan. Berbeda sekali dengan Riki yang hanya sendiri, disini.

Riki menatap pantulan senja memuakkan di aliran sungai didepannya. Dia selalu membenci senja sejak dulu. Apalagi sejak kakaknya, memilih pergi meninggalkannya saat semburat oranye itu menghilang.

Riki menghela nafasnya panjang. Melempar beberapa batuan kecil kearah air, sembari melepaskan emosinya. Pikirannya runyam, berbelit seperti gumpalan benang wol tak terurus dan tidak berujung.

Entah dorongan darimana, Riki beranjak dan melangkahkan kakinya kearah jembatan panjang di depan sana. Berdiri di tengah, sembari melawan hempasan angin sore. Membiarkan tubuhnya bertarung dengan angin dan air mata yang entah darimana asalnya.

Tubuhnya terasa ringan. Seolah angin tengah berusaha membawanya pergi. Riki tersenyum. Entah kenapa tiba-tiba semburat senyum manis milik kakaknya tergambar jelas di pikirannya. Suara lembut itu bahkan beberapa kali menghipnotisnya, sampai tak sadar ujung sepatunya sudah tak lagi menanjak di tiang besi gagah disana.

Sebuah tarikan, tiba-tiba menariknya kembali sampai tubuhnya kehilangan keseimbangannya dan terjungkal ke belakang.

“Lo gila?!”

Riki mengusap pinggangnya sembari melihat orang yang tengah mengomel di depannya.

“Iya gua gila shh.. lo siapa sih main narik aja sakit tau!”

Orang itu mendengus sambil menjulurkan tangannya membantu Riki bangun.

“Emang kalo lo jatuhin diri kesitu gabakal sakit hah?”

Riki mengerjapkan matanya. Hah? Dia mau jatuh kesana?

“Kalo ada masalah tuh di selesain baik-baik! Jangan nyerah gitu dong masa cowo gampang nyerah”

Riki menghela nafasnya. Benar juga apa yang dibilang orang asing ini.

“Lo siapa sih tiba-tiba dateng kayak setan”

Orang itu memukul lengan Riki sambil mengerucutkan bibirnya.

“Enak aja! Gue seimut ini dibilang setan”

“Emang setan”

“Lo tuh yang kayak setan”

Riki memutar bola matanya kesal. Memilih berbalik dan meninggalkan laki-laki aneh itu.

“Eh! Mau kemana!!”

Riki memutar bola matanya, “Pulang”

“Masa sih? Nanti mau loncat lagi kalo gada orang”

“Engga. Lu kenapa sih ngintilin gua?”

Laki-laki itu menatap Riki serius.

“Mau mastiin lu gabakal loncat lagi!”

Riki menghela nafas panjang.

“Gabakal”

“Boong dosa”

Riki menghela nafasnya lagi. Iyain ajalah. Sepertinya sorenya akan terasa panjang.


“Nishimura Riki? Wow nama lu bagus banget!”

Riki melihat laki-laki yang tengah memakan ice cream di depannya. Asik sekali sampai mengabaikan beberapa noda di sekitar bibir plumnya.

“Lu siapa?”

Laki-laki itu menunjuk kearah dirinya sendiri.

“Gue? Kim Sunoo hehe”

Riki terdiam saat melihat senyum cerah laki-laki itu mengembang. Tampak familiar tapi entah dia pernah melihatnya dimana.

“Sunoo? Gua kayak pernah liat lo”

Sunoo tersedak. Dia mengangkat alisnya bingung.

“Iyakah?”

Riki mengangguk, “Tapi gua gainget liat dimana”

Sunoo berdecak. Hampir saja.. dia kira Riki mengingatnya.

“Idih sok tau”

“Beneran tau! Muka sama senyum lo familiar”

Sunoo mengangkat bahunya. Mengabaikan Riki yang tengah bergelut dengan pikirannya sendiri. Dia tersenyum. Ternyata tidak berubah.

“Riki? Mau ke tempat bagus ga?”

Riki mengangkat satu alisnya. Sunoo tersenyum.

“Mungkin ini bisa nenangin pikiran lo?”


Pemandangan tata surya indah terlukis sempurna di depan sana. Gumpalan awan putih menggumpal acak menghiasi langit biru keoranyean. Riki ternganga. Selama 17 tahun dia tinggal disini dan dia tidak tau tempat seindah ini tak jauh dari rumahnya.

Riki menoleh kearah Sunoo yang sudah menghilang disebelahnya dan pergi bermain di sekitaran air laut. Dia tersenyum. Memilih duduk di pasir sambil mendengarkan suara gemericik air yang bersautan dengan angin. Benar kata Sunoo, ini benar-benar menenangkan.

“Kok lo tau ada tempat terpencil kek gini?”

Sunoo menoleh kemudian merebahkan tubuhnya disamping Riki.

“Mama dulu sering bawa gua kesini kalo gue lagi capek. Sekarang gue yang bawa lo kesini hehe”

Riki tersenyum simpul. Senyum Sunoo benar-benar membuat hatinya menghangat. Dia bahkan sudah melupakan apa yang mengganjal pikirannya tadi, dan malah terfokus pada laki-laki manis itu.

Sunoo, laki-laki itu datang tiba-tiba seperti kiriman Tuhan untuk membuatnya tersenyum di sore yang memuakkan ini. Dia tak habis pikir, wajah sunoo benar-benar terlihat cerah seperti tidak ada masalah walaupun kulit putihnya terlihat agak pucat.

“Manusia itu memang semua punya masalah dan terkadang memilih menyerah dari pada menyelesaikannya, bener kan?”

Riki tanpa sadar mengangguk, menanggapi ucapan Sunoo. Sunoo tersenyum simpul lalu mendongak kearah langit.

“Tapi bukankah lebih baik menyelesaikannya dari pada menyerah dan menimbulkan masalah baru?”

Riki menoleh kearah Sunoo yang juga melihatnya hangat. Sunoo tersenyum. Riki merasakan seperti sesuatu tengah menusuk hatinya. Ucapan hangat itu malah menusuk hatinya.

“Gue gatau lu punya masalah apa ki, tapi gue yakin lo cowok kuat. Ayolah masa masalah kecil gitu lo udah nyerah sih? Kalo ngerasa masalah lo berat, Tuhan gabakal ngasih itu ke Lo. Tuhan ngasih masalah ke hambanya sesuai takaran kesanggupan diri manusia masing-masing. Tergantung manusianya aja nanggapin masalah itu sebagai ujian atau cobaan”

Riki lagi-lagi tertohok. Dia menunduk, tak berani melihat ke depan maupun ke arah Sunoo. Sunoo tertawa. Dia menarik bahu laki-laki disebelahnya itu kemudian merangkulnya.

“Gue juga kadang pengen nyerah tau! Tapi gua milih bertahan demi orang yang gue sayang”

Sunoo tersenyum tipis. Menoleh kearah Riki yang masih menundukkan kepalanya.

“Apaan ih nunduk gitu! Liat depan ayo!! Coba ngomong ke diri sendiri kalo lo hebat, lo kuat!”

Riki menoleh kearah Sunoo. Sunoo hanya tersenyum lebar sambil mengodenya menuruti perkataannya. Riki menghela nafasnya. Dia benar-benar melakukan apa yang diperintahkan oleh Sunoo.

“Gua hebat! Gue kuat! Masa gitu aja lo udah nyerah sih Rik!”

Perasaan lega perlahan hadir di dadanya. Dia menoleh ke sunoo yang lagi-lagi tersenyum memamerkan eyes smilenya. Manis..

“Lega kan?”

Riki mengangguk sambil tersenyum.

“Kalo lo ngerasa masalah lo berat, coba kesini atau tempat yang tenang terus lakuin kayak tadi okay?”

Riki mengangguk. Sunoo menghela nafas panjang. Akhirnya tugasnya selesai.

“Beneran? Kalo gini gue udah bisa pergi”

Riki menoleh, mengangkat alisnya tak paham.

“Pergi kemana?”

Sunoo mengangkat bahunya.

“Mungkin ke tempat yang indah? hehe”

Riki memutar bola matanya. Sedangkan Sunoo tertawa meresponnya. Riki kesal tapi setengah merasa ada yang aneh dari laki-laki yang ditemuinya satu jam lalu itu. Tapi apa?

“Lo tau ga gua awalnya benci senja?”

Sunoo menoleh, “Iyakah?”

Riki mengangguk sambil melihat guratan senja yang mulai terukir di ufuk barat.

“Senja jahat udah ngambil orang yang gua sayang”

Sunoo mengulum bibirnya. Dia menepuk pelan punggung Riki kemudian memeluknya.

“Turut berduka tapi lo kuat kan? Buktinya masih bernafas sampe sekarang”

Riki mendengus, “Iya hampir aja gua berhenti bernafas kalo lo ga narik gua tadi”

Sunoo terkekeh pelan. Ya untung saja. Kalau tidak mungkin dia tidak akan pernah tenang.

“Makasih ya Sun?”

Sunoo menoleh lalu mengangguk. Riki tersenyum. Laki-laki itu masih setia melihat wajah manis Sunoo tanpa tau senja mulai turun di ujung barat.

“Makasih udah bikin gua sadar. Lo dateng di waktu yang tepat. Gua kira lo malaikat tau tadi tiba-tiba dateng nyelametin gua walaupun agak ngeselin”

Sunoo berdecak, “Lo mau makasih atau ngejek sih?”

“Dua-duanya sihh”

“Dih?!!”

Riki terkekeh, “Btw lo manis juga kalo lagi marah gini”

Sunoo sontak melotot. Dia otomatis mencubit Riki sampai laki-laki itu meringis kesakitan.

“Iyaiya aduh bercanda”

“Galucu ihh”

Riki tertawa lebar. Sunoo ikut tersenyum melihat laki-laki benar-benar tertawa seperti sedia kala, tanpa masalah disekitarnya. Sekarang tugasnya selesai. Saat senja berakhir dia bisa pergi dengan tenang. Meninggalkan bekas kenangan manis antara dirinya dan laki-laki disebelahnya itu, Riki. Dia mendongak kearah langit yang mulai gelap.

“Tugasku selesai. Kalian udah bisa jemput aku pulang”

Riki melihat Sunoo yang tersenyum melihat kearah langit senja. Hatinya benar-benar terasa hangat saat bersama laki-laki itu. Dia ikut melihat kedepan. Menikmati cahaya indah yang sempat dia benci lima tahun lalu dan membuat beberapa masalah menghampirinya. Tetapi mungkin, sekarang dia akan mulai menyukainya. Apalagi kalau bukan karena Sunoo.

“Tolong jaga diri ya Riki? Jangan sampe ngelakuin hal itu lagi! Bahagia terus!!”

Riki tersenyum samar. Dia mengangguk jelas di depan Sunoo. Sunoo tersenyum lebar sambil mengangguk.

“Sip Nishimura Riki udah janji sama Kim Sunoo bakal bahagia terus”

Riki tertawa. Kenapa Sunoo yang membuatnya emosi sejam yang lalu sekarang terlihat menggemaskan. Dia menepuk pipinya pelan. Hey sadar bodoh.

Sunoo ikut tertawa. Mulai melihat guratan oranye yang benar-benar hilang di ufuk barat. Harinya berakhir sekarang. Dia menoleh kearah Riki yang tersenyum cerah sambil mengulurkan tangannya, bermaksud mengajaknya pulang. Sunoo tersenyum. Laki-laki itu memang seharusnya bahagia. Semoga Tuhan benar-benar menepati janjinya. Semoga waktu berbalik seperti semula. Sunoo harap itu berhasil. Dan jam biru ini akan menjadi saksi takdir laki-laki itu berbalik. Sunoo bersumpah, tolong catat itu.


Riki pulang dengan keadaan sepi. Rumahnya terasa damai dari sebelum dia pergi. Yang awalnya dia melihat orang tuanya yang berdebat tentang masalah sepele, sekarang malah bercanda sambil menonton tv di ruang tengah. Riki bingung. Tiba-tiba sekali?

Riki mengangkat bahunya. Memilih melewati kedua orang yang asik dengan dunianya sendiri kemudian naik ke kamarnya. Dia enggan berganti baju, tetapi secarik kertas di saku jaketnya menarik perhatiannya. Kertas putih agak lusuh yang entah sejak kapan tinggal disana.

Riki membukanya. Membacanya perlahan sebelum sebuah cairan bening juga perlahan melewati pipinya. Surat dari laki-laki yang beberapa menit lalu masih tersenyum bersamanya, Kim Sunoo. Dia benar-benar tidak menyangka apa yang ditulis Sunoo disini. Ini tidak benar kan?

Riki menarik jaketnya lagi kemudian berlari keluar rumah. Berlari kearah tempat terakhir dia mengantarkan Sunoo. Sunoo tidak mungkin pergi secepat itu. Ini bohong.

Suara ambulan mendominasi saat dia sampai di rumah yang dia yakini sebagai rumah Sunoo. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat laki-laki itu masuk ke rumah itu. Tetapi rumah itu sekarang tengah dihiasi pada pekerjaan medis dengan iringan suara memekik sirine ambulan.

Riki bersimpuh saat melihat laki-laki manis itu benar-benar keluar dari rumah dengan senyum cerah dan mata tertutup sempurna.

“Gamungkin secepet ini kan? Sunoo lo bohong?”

Riki berlari kearah gerombolan orang didepan sana. Mengabaikan orang yang berusaha menariknya keluar kembali. Dia masih tidak percaya malaikat penyelamatnya benar-benar akan pergi ke tempat asalnya. Kim Sunoo, malaikatnya itu akan pergi ke tempat semestinya di atas sana.

Riki tidak percaya. Semuanya seperti ilusi. Semua deretan peristiwa barusan benar-benar seperti reka adegan film. Semua takdir baik yang berbalik kembali kepadanya juga seperti karangan sutradara. Riki tidak akan bisa mempercayai semua itu. Apalagi Sunoo yang meninggalkannya dengan perasaan aneh yang sangat mustahil untuk terbalaskan.

“Kim Sunoo. Makasih, lo pantes bahagia. Tunggu gua yaa? gua bakal nyusul kalau Tuhan udah merestui gua sama lo. Sekali lagi makasih”


Halo Riki!!

Gue harap lu selalu bahagia. Eh, emang Tuhan bakal ngasih lu kebahagiaan terus sih hehe.. Lu gausah khawatir bakal sedih lagi, banyak masalah lagi. Gue udah minta Tuhan agar kehidupan lu kembali seperti semua walaupun bertahap. Maaf ya gue gabisa nemenin lu pas udah bahagia. Mungkin bakal ada seseorang yang dateng buat temen hidup lu di masa depan hehe jadi lupain aja gue^^ Kalo lu kira awal pertemuan kita itu tadi, lu salah. Kita pernah ketemu di rumah sakit sekitar 5 tahun yang lalu. Mungkin lu gainget, tapi gue cowo gendut yang hibur lu dulu waktu kakak lu pergi. Turut berduka ya.... Gua tuh sebenernya udah gainget muka lu, lu berubah banget tau!! Jadi tambah keren :(( Tapi karna bantuan seseorang gue bisa ketemu lo lagi hwehe oiya pas itu gue juga udah suka sama lu hehe ala² first love anak remaja. Huhu jangan benci gua yaa pas tau ini :(( Terakhir.. mungkin pas lu baca ini gue udah pergi. Pergi ke tempat dimana malaikat berasal, iya diatas ditempat indah abadi buat malaikat ngeselin kayak gue kata lu hehehe moga aja kita bisa ketemu di masa yang datang ya Riki?? Udah itu aja.. Gue pamit ya Riki? Jaga diri yaa!! I love u and goodbye...

–Kim Sunoo


–end

Dusk, rain

Beomgyu termenung, melihat guratan merah keoranyean di ufuk barat, mulai tenggelam. Lengkungan kelabu hitam menuntut semua kesunyian, membawa dirinya sampai detik ini. Garis senyumnya tipis, mengingatkan kenangan pahit beberapa bulan yang lalu. Kenangan pahit tentang dia dan senja. Dan juga seorang Kang Taehyun, laki-laki yang masih mengisi hatinya sampai saat ini.


Sore ini, entah tumben sekali seorang Kang Taehyun meminta Beomgyu untuk keluar dari asrama hanya untuk berjalan-jalan. Biasanya Taehyun paling anti keluar, apalagi untuk jalan-jalan membuang-buang waktu bersama Beomgyu. Walau status mereka berpacaran, Taehyun tipe orang yang lebih suka menghabiskan waktunya di dalam ruangan, dan Beomgyu sangat memaklumi hal itu.

“Tumben ngajak jalan?” Tanya Beomgyu sambil menarik lengan Taehyun, lalu menggandengnya.

Taehyun terdiam. Dia hanya tersenyum, tak merespon lebih ucapan Beomgyu. Beomgyu mengangkat alisnya. Ada yang aneh dari Taehyun sore ini, entah kenapa Taehyun terlihat berbeda dari biasanya.

“Kamu gapapa? Sakit?” Ucap Beomgyu khawatir sembari meletakkan punggung tangannya kearah kening laki-laki disebelahnya. Tetapi semua tampak normal.

Taehyun termenung. Terkekeh kecil kemudian menarik tangan mungil Beomgyu keluar dari area asrama. Dia tidak mau membuat para penjaga marah karena senja hampir saja tiba dan mereka malah asik keluyuran mengiringi rona merah barat itu.

“Mau kemana sih? Ih jangan tarik-tarik!!” Teriak Beomgyu saat Taehyun masih saja fokus menariknya kearah sebuah tempat yang asing baginya.

Baru saja Beomgyu ingin protes lagi, matanya langsung terfokus dengan pemandangan tak nyata di depannya. Kilauan rona senja, terpantul dengan kilatan cahaya air, membuat spektrum warna tak nyata, membuat Beomgyu terpaku kagum.

Dia melirik kearah Taehyun yang berada tak jauh darinya. Tatapan mata sendu Taehyun, menembus keajaiban tata surya di depan sana. Beomgyu tak paham. Dia memilih tersenyum lebar. Menikmati desiran angin sore yang mulai bersiul menerpa wajah manisnya. Jarang-jarang Taehyun membawanya jalan-jalan walau hanya menikmati angin sore, jadi dia tidak mau mengambil pusing hal itu.

“Seneng ngga?”

Beomgyu tersenyum cerah sambil mengangguk cepat, membuat Taehyun terkekeh.

“Seneng banget!!! Kok aku baru tau ada tempat begini deket asrama?”

Taehyun mengangkat bahunya, “Aku juga baru tau tempat ini beberapa hari yang lalu, habis pulang check up”

Senyum cerah Beomgyu mendadak pudar. Dia melihat Taehyun tajam penuh pertanyaan.

“Check up? Kamu sakit?”

Taehyun hanya merespon dengan senyuman tipis. Memilih menarik Beomgyu lebih dekat dengan kilauan aurora di depan sana. Beomgyu menatap Taehyun lekat, pahatan sempurna dibalik wallpaper senja itu terdiam sambil terus menatap dengan senyum sendunya.

“Mau janji sesuatu ngga?”

Beomgyu menatap Taehyun bingung. Taehyun malah terkekeh melihat raut wajah khawatir sekaligus bingung laki-laki manis disebelahnya.

“Beomie?”

“Janji apa dulu ih?” Jawab Beomgyu kesal.

Taehyun mengulum bibirnya. Kemudian kembali tersenyum melihat kearah depan.

“Janji tetep jadi Beomgyu yang Taehyun kenal. Beomgyu yang ceria, Beomgyu yang jahil, bisa?”

Beomgyu mengangkat alisnya bingung.

“Emang aku berubah?”

Taehyun menggeleng cepat.

“Terus? Kamu ngomong apa sih? Jangan bikin aku mikir aneh-aneh yaa?!” Ucap Beomgyu kesal.

Taehyun tertawa kecil. Melihat wajah kesal Beomgyu, sungguh membuat jemarinya otomatis mencubit pipi laki-laki beruang itu. Gemas.

Beomgyu mendengus kesal. Memilih mengabaikan kerandoman tiba-tiba Taehyun, dan mulai menikmati senja yang mulai turun.

“Janji ya? Jangan lupain aku juga hehe”

Beomgyu mendengus kesal. Mendorong bahu Taehyun sambil merotasi bola matanya.

“Please, kamu ngomong apa sih? Ngaco banget! Yakali aku ngelupain kamu kan kamu ga kemana-mana. Kamu diem aja ih!! random banget”

Taehyun terkekeh melihat kekasihnya itu mengomel. Hatinya terasa bergemuruh saat melihat raut khawatir Beomgyu terpampang nyata dengan dibalur sinar senja di depan sana. Tapi apa boleh buat. Takdir yang menyuruh semua hal ini terjadi.

Beomgyu menatap Taehyun tajam. Menghembuskan nafasnya panjang lalu kembali melihat senja yang mulai perlahan turun, tenggelam. Mengabaikan perasaan aneh yang menganggu hatinya sejak tadi. Sembari berharap, semua perasaan aneh itu hanya omong kosong kekhawatiran tanpa dasarnya. Ya semoga saja.

Bahu Beomgyu terasa memberat. Dia menoleh, melihat rambut pirang Taehyun sempurna bersandar di bahunya. Senyumnya perlahan melebar. Menikmati beberapa detik terakhir sebelum keelokan aurora senja didepan sana lenyap.

“Beom, inget aku terus ya? Awas aku yang ganteng ini dilupain”

Beomgyu menghela nafasnya panjang. Perasaannya semakin aneh saat Taehyun mulai berbicara random, lagi.

“Kamu ngomong apa sih Tae? Aku bilang diem ih”

Taehyun terdengar terkekeh tipis.

“Habis ini turun hujan. Kamu percaya ga kalo hujan bakal bawa aku pergi?”

Beomgyu terdiam. Entah tuntutan dari mana, dia reflek melihat kearah atas. Gumpalan awan kelabu ternyata tengah memutari area sunyi ini. Beomgyu kembali melirik kearah Taehyun. Sebelum kilatan merah menetes menghiasi hijaunya rumput, membuat Beomgyu otomatis melebarkan matanya. Terkejut.

“Tae–”

“Diem dulu Gyu. Aku tau kamu udah liat itu hehe. Jadi tolong biarin aku ngomong sesuatu dulu oke?”

Beomgyu diam. Benar-benar diam. Mulutnya seolah terkunci menuruti semua kemauan Taehyun. Taehyun terkekeh tipis. Nafasnya terdengar cukup teratur sebelum meneruskan perkataannya.

“Aku sayang kamu. Tolong inget itu”

“Jangan pernah nyalahin takdir kalau misal hujan beneran bawa aku pergi”

“Tetep jadi Beomie yang Taehyunie kenal selama ini. Jangan pernah berubah, apapun yang terjadi”

“Mungkin setelah ini kamu bakal benci senja dan hujan. Tapi kalo kamu rindu Taehyunie, coba kesini. Aku bakal nemuin kamu diujung senja, dengan perantara aurora orange di sana”

Beomgyu menurut melihat kearah gemetar jari telunjuk Taehyun. Sembari menahan mati-matian agar air matanya tidak terjatuh. Dia masih tidak mau menerka-nerka kejadian tanpa aba-aba ini. Sungguh ini benar-benar diluar dugaannya.

Taehyun tersenyum tipis. Melihat keluh kesah bayangan disebelahnya. Matanya memberat. Rasa sakit perlahan kembali menjulur di seluruh tubuhnya. Dia tersenyum. Berusaha membuka bibirnya, walau dia sudah tidak bisa merasakan geraknya lagi.

“Inget ya! Aku bakal selalu sayang kamu. Aku mohon kamu tetep jalani hidup kamu seperti biasa, kayak sebelum ketemu kulkas berjalan kayak aku”

“Indah banget ya senjanya hehe. Sekarang aku udah bisa pergi. Jaga diri ya Beomie? Taehyunie selalu sayang Beomie”

Hatinya bergemuruh kacau. Beomgyu sudah tidak dapat menahan air matanya. Langit pun sama. Bersamaan dengan gemuruh kecil, langit meneteskan buliran air suci yang mulai turun membasahi bumi, mengiringi senjanya yang semakin melemah dalam sandarannya.

“Sampai jumpa beruangku. I love you”

Bahu Beomgyu perlahan merosot saat kepala Taehyun memberat, diiringi helaan nafas teratur yang mulai menghilang detik itu juga. Dengan hujan, sebagai pengiring indah laki-laki yang mengisi hari-harinya dalam empat tahun ini pergi tidur dalam keabadiannya.

Tangis Beomgyu pecah. Dia mendekap tubuh lemah Taehyun tanpa merasakan kehangatan laki-laki itu lagi. Taehyunnya benar-benar pergi. Pergi meninggalkannya, dengan semua kenangan manis yang masih tersusun rapi dalam ingatannya. Membiarkan kenangan itu memutar berurut, tanpa aba-aba dan tanpa pemberitahuan. Air mata Beomgyu semakin mengalir deras, dengan air hujan yang juga semakin deras membasahi bumi.

“Selamat tidur senjaku”


Genap dua bulan sejak Taehyun benar-benar pergi. Dan saat itulah takdirnya berputar 180°. Hidup Beomgyu perlahan kembali menggelap, karena setitik cahaya hangatnya sudah padam. Tak ada lagi senyum seorang Beomgyu sejak Taehyun pergi. Tak ada lagi juga kehebohan, jeritan seorang Beomgyu sejak saat itu. Semua kembali ke semula. Hanya tentang Choi Beomgyu, gelap dan rasa sakit.

Beomgyu memandangi beberapa polaroid penuh stiker di tangannya, dengan tangan lain memegang benda yang sangat familiar baginya–dulu maupun sekarang. Dia tersenyum simpul. Melihat senyum hangat Taehyun, masih terukir jelas dalam media kertas itu.

Beomgyu menarik nafasnya panjang. Menatap guratan senja yang mulai turun, dengan kilatan petir menghiasinya. Ya lagi-lagi hujan senja seperti saat Taehyun, senjanya pergi.

Beomgyu menarik kuat-kuat benda di genggamannya. Menikmati segala sensasi aneh yang mulai hadir, diiringi coretan warna pekat yang mulai menghiasi kulit pucatnya. Dia benar-benar puas.

Beomgyu tersenyum. Memandangi senyum Taehyun yang sepertinya memudar dan berbalik menatapnya tak suka. Beomgyu terkekeh. Halusinasinya benar-benar parah. Kepalanya mulai berdenyut dan matanya mulai mengabur, diiringi rasa aneh yang membuat tubuhnya seolah melayang.

Beomgyu tersenyum lebar. Membiarkan semua kegelapan menelannya. Sudah tidak ada alasan lagi untuk dirinya tetap bertahan. Jika alasannya pergi, dia akan ikut pergi sebelum dia merusak takdir baik orang lain. Jadi biarkan Beomgyu tidur dengan tenang, agar bisa bertemu senjanya kembali.

Taehyunie.. Sampai jumpa di senja berikutnya. Aku mencintaimu, dan sorry...
–🐻

–end

Regret, end

Evanescent berarti bertahan dalam waktu singkat. Seperti takdir antara aku dan kamu, takdir kita begitu singkat. Tuhan memilih mengakhiri semua permainan konyol hati ini, dengan membawamu pulang. Tidak adil memang, itu curang. Aku bahkan sekali saja, belum pernah membalas satu kata manis yang selalu terlontar dari bibirmu, tetapi kenapa kamu pergi lebih dulu??


Pasti menurut kalian, semakin lama hubungan maka semakin banyak juga rasa cinta yang tumbuh. Semakin banyak waktu bersama, semakin banyak juga perasaan yang hadir didalam dada. Tetapi itu tidak berlaku untuk kedua orang ini. Ah lebih tepatnya untuk satu orang dalam sebuah ikatan antara Kim Younghoon dan Ji Changmin.

Sudah hampir 3 tahun hubungan mereka berjalan. Bukan hubungan pacaran seperti orang-orang, tetapi hubungan perjodohan. Orang tua Kim dan orang tua Ji melakukan perjodohan ini dari mereka bayi karena wasiat kakek mereka dan mereka baru bisa melakukannya saat mereka lulus kuliah.

3 tahun bukan waktu yang sebentar. Dalam waktu 3 tahun ini sebenarnya bisa membuat rasa cinta mereka tumbuh, tetapi ini sama sekali tidak berpengaruh. Iya, untuk satu orang. Kim Younghoon. Bagi Ji Changmin, dia bahkan sudah benar-benar mencintai laki-laki kutub itu bahkan sebelum perjodohan itu terjadi.

Besok adalah hari pertunangan mereka. Orang tua mereka lah yang memaksa keduanya melakukan pertunangan itu, katanya sih biar ada ikatan. Awalnya Changmin menolak dengan alasan terlalu cepat, tetapi bukan itu. Dia takut, apalagi dengan keadaan dia dan Younghoon yang sama sekali tidak bisa disatukan seperti ini. Tetapi orang tua mereka tetep keukeuh, ya Changmin tidak bisa apa-apa.

“Hoon? Hari ini bisa anter–”

“Gabisa, sibuk”

Changmin tersentak, lalu menghela nafas. Sudah terbiasa. Tetapi dia tidak menyerah. Dia berjalan mendekati Younghoon yang tengah sibuk dengan ponselnya disofa.

“Beneran sibuk?” Tanya Changmin memastikan.

Suara decakan terdengar sedetik kemudian. Atmosfer mendadak dingin setelah Younghoon melayangkan tatapannya ke laki-laki Ji itu. Changmin meneguk salivanya. Bohong jika dia bilang sudah terbiasa, buktinya dia gugup setengah mati sekarang.

“Gua bilang sibuk ya sibuk! Lu masih punya kaki sama tangan kan? Pergi sendiri!!” Ucap Younghoon dingin.

“Tapi bunda–”

“Ck!! Lu paham bahasa manusia gasih??!!!” Setelah mengucapkan kalimat itu, Younghoon beranjak dari sofa lalu menuju pintu apartement.

“Oke maaf, hati-hati hoon!! Love–”

BRAKK

“You...” Changmin mengigit bibir bawahnya. Tembok pembatas dirinya dan Younghoon terlalu tebal, terlalu sulit untuk menembus hati laki-laki Kim itu. Changmin menghela nafas sekali lagi. Memilih pergi ke kamarnya lalu bersiap pergi sendiri.


Jam menunjukkan jam 11 siang, hari ini sebenarnya hari libur makanya dia memberanikan diri meminta Younghoon mengantarkan. Dia kira Younghoon akan mengangguk mengiyakan, tetapi sepertinya bayangannya terlalu tinggi.

Changmin menghela nafas. Dia terpaksa pergi sendiri, padahal hari ini jadwal mereka ke butik untuk fitting baju. Bahkan bundanya sudah repot-repot memesankan butik untuk tempat mereka, tapi sepertinya Younghoon terlalu sibuk untuk melakukan hal tidak berguna seperti itu, menurutnya.

Changmin menyandarkan kepalanya. Fokusnya ke jalanan pecah. Sekelebat bayangan muncul dibenaknya. Bagaimana takdir masa depan mereka, apakah Younghoon akan berubah atau justru sebaliknya mereka akan berpisah?

Changmin mengacak rambutnya kasar. Dia benci pemikirannya seperti ini. Tapi ya memang kenyataannya begitu. Dia terlalu takut jika Younghoon semakin dingin, dan semakin menganggapnya tidak ada.

Changmin mengusap wajahnya kasar. Terlalu sulit membayangkan hal yang akan terjadi di masa depan. Dia bahkan tidak bisa meramal kejadian beberapa menit kedepan, tetapi sok sekali meramal kejadian beberapa tahun kedepan.

Dia sekali lagi menghela nafasnya. Kepalanya pusing sekarang. Dia mencoba meraba dasboard mobil dan mencari sebotol air mineral, tetapi sepertinya tidak ada. Changmin menoleh untuk memastikan, seingatnya tadi dia membawanya.

Baru saja dia menoleh. Tiba-tiba suara klakson nyaring memekikkan telinganya. Changmin sontak mengalihkan pandangannya kembali ke jalanan, namun terlambat.

Hantaman keras membuat tubuhnya seolah melayang. Suara teriakan menggema dimana-mana. Bau anyir memenuhi indra penciumannya. Changmin mencoba bangun, tapi tubuhnya seperti terjepit sesuatu. Pandangannya gelap, dia hanya bisa mendengar suara sayup-sayup orang-orang meminta pertolongan. Changmin tersenyum tipis, mencoba menarik sesuatu dan menggenggamnya sebelum semua kesadarannya hilang total.


Younghoon memijat pelipisnya, pusing. Mamanya dari tadi terus mengomel lewat telepon karena dia ketahuan tak mengantar Changmin fitting baju.

“Iyaiyaa ishh!! hoon beneran sibuk ini”

“Sibuk ngapain hah? Pacaran?”

Younghoon tersentak, lalu melirik seseorang yang tengah sibuk memesan sesuatu di depan sana.

“A-apaan sih?? Gaboleh tau fitnah!!”

“Fitnah gimana? Mama tau kamu masih nggak setuju sama perjodohan ini, tapi tolong hargai keputusan kakekmu hoon!! Mending sekarang keluar kafe itu terus susulin Changmin atau mama bilang ke papa biar jabatan kamu diturunin?”

“Ck!! Iya!!” Younghoon langsung menutup sambungan telepon. Dia berdecak kesal. Kalo gini dia makin gasuka sama perjodohan konyol ini.

Baru saja dia menutup menurup sambung telepon, tiba-tiba satu telepon kembali masuk. Younghoon hampir saja mengumpat karena mengira mamanya lagi, tetapi tidak jadi karena nama Changmin tertera dilayarnya. Younghoon berdecak kesal. Dia memilih menggeser tombol merah lalu mematikan ponselnya, tepat saat seorang berambut seperti gulali mendekatinya.

“Tadi mama ya by??”

Younghoon mengangguk. Seseorang itu tersenyum tipis, paham jika mama Kim menelepon pasti untuk mengomelinya. Apalagi kalau bukan soal calon tunangannya. Dia tau semuanya, iya semuanya.

“Kenapa lagi sih? Sampe cemberut gitu??”

“Disuruh nyusulin Changmin fitting baju, ishh kesel” Dengus Younghoon tak terima.

Orang itu mengangguk paham. Dia juga baru ingat besok hari pertunangan kekasihnya itu dengan calonnya.

“Yaudah sana susulin”

“Gamau chan”

Chanhee, dia terdiam. Younghoon keras kepala. Dulu saat dia ingin memutuskan laki-laki itu juga Younghoon menyuruhnya bertahan, sampai saat ini. Younghoon bilang dia akan membatalkan perjodohan itu, tapi seperti yang kalian tau, itu tidak ada hasilnya. Baru saja Chanhee ingin membuka suara lagi, suara nada dering ponsel Younghoon memecahkan keheningan.

Chanhee melirik layar ponsel Younghoon, tertera nama mama disana. Younghoon terdengar menghela nafasnya lagi. Chanhee terdiam, kemudian menyenggol lengan laki-laki Kim didepannya.

“Angkat”

Younghoon mengangguk pasrah lalu menggeser tombol hijau dan mendekatkan ponselnya ke telinga.

“Ada apa lagi sih ma?”

Younghoon tersentak ketika mendengar suara isakan dari balik telepon. Dia mulai khawatir sekarang. Perasaannya tiba-tiba terasa tidak enak.

“Ma? Mama kenapa??”

“KIM YOUNGHOON!! HIKS”

Suara mamanya terdengar memberat. Younghoon yakin ada sesuatu yang tidak beres.

“Ma? Ken–”

“CHANGMIN KECELAKAAN!! CEPET KESINI!!!”

Deg..

“Mama jangan bercanda!!”

“MAMA KEDENGERAN BERCANDA YAA??!!!!”

Sambungan telepon langsung terputus. Detak jantung Younghoon seolah berhenti saat itu juga. Chanhee ikutan khawatir karena tiba-tiba Younghoon terdiam setelah menerima telepon.

“Mama kenapa hoon?”

Tanpa menjawab pertanyaan Chanhee, Younghoon langsung berlari meninggalkan kafe. Chanhee terdiam. Dia diam-diam menghela nafas lalu menarik tersenyum tipis saat bayangan Younghoon benar-benar sudah menghilang.


Suara langkah kaki Younghoon terdengar beradu di sepanjang koridor rumah sakit. Beberapa orang bahkan sampai memilih menepi daripada bertabrakan dengan laki-laki Kim itu. Raut wajahnya bahkan dari tadi terlihat buruk, bahkan sangat butuh sampai tak seorang pun bisa mengartikannya.

“Mama? Changmin mana?!!” Younghoon menatap wanita berkepala lima didepannya. Mama Kim terdiam, matanya tampak sembab. Tangannya dengan lemah menunjuk ke sebuah ruangan yang tengah tertutup rapat.

Hampir saja Younghoon hendak bertanya lagi, pintu ruangan tersebut terbuka. Disusul dengan dokter yang muncul dengan raut wajah yang sama sekali tidak bisa dideskripsikan. Younghoon pun sontak langsung berlari menghampiri dokter itu. Berusaha bertanya, namun dokter hanya diam sambil menepuk pundaknya pelan.

“Maaf. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan lebih sayang tuan Changmin”

“Gak!! gamungkin!! Dokter bercanda kan?!”

Younghoon nampak mengguncang pundak dokter itu. Dokter hanya bisa menunduk, membiarkan Younghoon melupakan kekesalannya. Younghoon menggeleng, masih belum bisa mempercayainya. Dia langsung berlari masuk, menerobos dan tubuhnya langsung membeku saat itu juga.

Terlihat tubuh seseorang yang sudah sepenuhnya tertutup kain putih. Younghoon diam, berjalan mendekat. Dia menyingkap helaian kain putih itu. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Semua aliran darahnya seperti membeku detik itu juga. Matanya tiba-tiba terisi penuh air mata. Lutut Younghoon melemas. Tubuhnya ambruk tepat di tubuh Changmin yang terdiam kaku didepannya.

“Gamungkin.. Gamungkin! Heh bangun bodoh!!”

Younghoon mengguncang tubuh kecil didepannya itu. Tapi nihil, tak ada tanda-tanda kehidupan. Laki-laki manis yang menemaninya selama tiga tahun ini benar-benar pergi meninggalkannya. Tubuhnya semakin melemas. Tangisnya pecah saat itu juga.

“Yak!! Ji bodoh Changmin!! Bangun!! hiks”

“CHANGMIN BANGUN!!! HIKS MAAFIN GUA”

Detik itu juga, memori tentang Changmin perlahan berputar memenuhi ruang diotaknya. Tentang semua tindakan manis Changmin yang selalu ia dibalas dingin, dan juga semua ucapan manis laki-laki Ji itu yang juga terbalas pedas olehnya.

Kini, saat Changmin sudah tak dapat lagi menemaninya hari-harinya, Younghoon baru tersadar. Laki-laki itu yang selalu ada jika dia membutuhkan sesuatu, sekarang membiarkan dia sendirian, dalam kebodohan. Ya dia laki-laki paling bodoh di seluruh alam semesta ini karena menyia-nyiakan seseorang yang berhati malaikat seperti Changmin. Hari ini, Younghoon baru sadar arti kehilangan. Kehilangan seseorang yang sebenernya sangat penting bagi hidupnya, namun dia acuhkan.

Dadanya terasa sesak. Air matanya tak lagi bisa terbendung. Penyesalan perlahan hadir ketika luapan air mata tak lagi tertahan. Sekarang semua hanya kenangan, keterlambatan dan penyesalan. Ji Changmin, benar-benar pergi. Pergi meninggalkan, untuk selamanya.


Kehilangan Changmin sangat membekas di kehidupan seorang Kim Younghoon. Sampai saat ini. Hari ini tepat lima tahun perayaan kematian Changmin, dan Younghoon masih belum bisa percaya laki-laki Ji itu benar-benar pergi meninggalkannya.

Younghoon masih sendiri, ah lebih tepatnya memutuskan untuk menyendiri. Chanhee? Ya Younghoon memutuskan Chanhee setelah Changmin pergi. Terlambat, tapi sepertinya itu keputusan yang terbaik. Bahkan Chanhee sekarang sudah memiliki calon yang akan menjadi takdir abadinya.

Hmm berbicara masalah takdir, Younghoon sendiri masih mempercayai apa itu takdir. Takdir antara dia dan Changmin, tidak mungkin hanya kebetulan kan? Pasti Tuhan sudah menggariskannya. Younghoon masih setia berpegangan teguh dengan garis antara dirinya dan Changmin, walaupun itu bersifat maya, mustahil.

Younghoon tersenyum miris sambil melihat sebuah benda yang melingkar di pergelangan tangannya. Sebuah gelang hasil rancangan Changmin sendiri yang menjadi hadiah terakhir Changmin untuknya, satu-satunya. Gelang itu yang menjadi saksi bisu Changmin dan Tuhan, sebelum Tuhan memutuskan untuk membawa Changmin pulang ke rumah abadinya.

Younghoon menghela nafas. Menatap foto seseorang yang tengah tersenyum manis dibalik lemari kaca. Itu Changmin, tengah tersenyum cerah memamerkan lesung pipitnya. Air mata Younghoon perlahan turun, lagi. Terlalu menyakitkan, memutar kembali potongan puzzle kenangan pahit dan juga dinginnya dengan Changmin. Bahkan dia sekarang merasa sedang berhalusinasi karena merasakan aura seorang Ji Changmin disini.

Younghoon tersenyum singkat, lalu dengan cepat mengusap air matanya. Dia harus segera pergi dari sini, sebelum matanya semakin memanas dan meluapkan segala penyesalannya lagi dan lagi. Helaan nafas Younghoon terdengar menggema di ruangan krematorium yang sepi ini. Younghoon melempar senyum tipisnya. Menerawang objek cetak didepannya, sebelum melangkah keluar dari ruang penyesalan ini.

Tanpa Younghoon sadari, ada seseorang yang tengah memperhatikannya dari awal datang sampai bayangannya benar-benar menghilang dibalik pintu. Menyaksikan segala penyesalan Younghoon dari awal sampai akhir. Orang itu tersenyum tipis dengan lesung pipitnya yang tidak bisa memudar. Tatapan matanya terlihat sendu dan dingin.

Andai dulu dia tidak melakukan hal itu, mungkin takdir tidak akan seperti ini. Berputar dan menjadi bumerang. Tapi apa boleh buat, dia akan melakukan apapun agar Younghoon bisa bahagia. Karena kebahagiaan Younghoon, masuk dalam daftar kebahagiaannya juga. Termasuk mengorbankan semua takdir dan kehidupannya. Ya semuanya, seperti memalsukan kematian—dirinya sendiri.

–end.

365-05.05 PM

Rintik air membasahi seluruh sudut kota. Tak terkecuali, bahkan di dalam hatiku juga. Jalanan didepanku bahkan sudah sepenuhnya menggenang karena air hujan. Hampir dua jam penuh, hujan sama sekali tak mau berhenti. Bahkan diriku–ju haknyeon, masih tetap menunggu sendirian di halte menunggu dirinya lagi dan lagi. Lagi? Ya ini sudah ke 365 kalinya aku menunggunya disini, lebih tepatnya satu tahun penuh aku menunggunya disini, tanpa kepastian. Entah sampai kapan aku harus menunggu. Menunggu seorang kim sunwoo yang tidak akan pernah kembali lagi–selamanya.


“Kak ju? Tau ga bedanya kakak sama mochi”

Haknyeon melirik sekilas laki-laki didepannya itu lalu mendengus kesal. Ini sudah pertanyaan kelima yang dilontarkan sunwoo kepadanya dari pagi berpapasan di gerbang kampus dan sekarang dia mengulanginya lagi?

“Sumpah lo gada kerjaan ya woo?”

Bukan Haknyeon yang menyindir laki-laki kim itu, melainkan Changmin yang notabene sahabat Haknyeon yang ikutan gedek sama tingkah adek tingkat mereka sekaligus 'calon' pacar haknyeon–mungkin(?)

“Apasih ganggu orang lagi pdkt aja”

Ya sunwoo dan Changmin dari awal bertemu, tidak akan ada kata akur diantara mereka. Kerjaannya yah kalau ga saling sindir ya berantem. Pusing sendiri Haknyeon liatnya.

“Mending kalian pergi deh, Changmin ada kelas kan abis ini? Terus sunwoo? emang gada tugas atau apa gitu??” Ucap haknyeon sedikit kesal.

“Ada!! Tugasku kan mencintaimu, kak ju” ucap sunwoo dengan santainya, sebelum satu sepatu mendarat sempurna dijidatnya. Yaa siapa lagi pelakunya kalau bukan seorang ji Changmin.

“ANJG GELI!!”

Haknyeon hanya menghela nafas saat sunwoo dan Changmin kembali adu mulut. Ya tuhan, tolong beri Haknyeon kesabaran lebih untuk menghadapi kedua manusia berotak kosong itu.


“KAK JU!!!”

Haknyeon menoleh kearah koridor teknik. Itu sunwoo, ya emang siapa lagi selain dia yang memanggilnya dengan nama marganya ju?

“Hmm? Kenapa?” Tanya Haknyeon saat sunwoo sudah berada didepannya.

“Nanti sore sibuk ga?” Ucap sunwoo singkat.

Haknyeon mengangkat alisnya kemudian menggeleng.

“Enggak napa? Mau jalan??”

Sunwoo tampak terdiam–seperti tengah memikirkan sesuatu, dia bahkan terlihat sedikit mengigit bibir bawahnya sebelum kembali menggembangkan senyumnya dan mengangguk.

“Iyaa!! Aku jemput di halte yaa kayak biasanya? Jam lima lebih lima”

Haknyeon hanya mengangguk. Seperti biasanya. Tapi bentar, ada yang aneh.

“Woo? Hidung lo??”

Sunwoo reflek menutup hidungnya. Dia bisa merasakan sesuatu yang agak kental menetes pelan ke telapak tangannya. Haknyeon sontak mengangkat alisnya bingung. Ini sudah keempat kalinya dia memergoki sunwoo mimisan. Aish.. dia mulai khawatir sekarang. Dia langsung mencari sesuatu ditasnya yang sekiranya bisa menghentikan pendarahan itu.

“Nih!!” Haknyeon menyodorkan selembar tisu ke sunwoo dan langsung diterimanya.

“Lo kenapa?”

Sunwoo hanya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya.

“Kayaknya kecapekan doang hehe”

Haknyeon menghela nafasnya. Alasan sunwoo selalu sama, membuat dirinya semakin khawatir.

“Cek ke dokter yaa?? Gua takut lo kenapa-napa”

Sunwoo lagi-lagi menggeleng “aku gapapa kak”

Haknyeon mengangguk, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa faktanya memang laki-laki kim didepannya itu terlihat baik-baik saja. Tapi, wajah sunwoo sekarang terlihat lebih pucat dari sebelumnya.

“Lo pucet, jalannya besok aja yaa lo istirahat dulu hari ini”

Sunwoo menggelengkan kepalanya cepat.

“Ihh aku gapapa kok beneran!! Mumpung ada waktu– Kalo besok aku dah pergi gimana” sunwoo melirihkan kalimat terakhirnya. Haknyeon mengangkat alisnya bingung. Ada apa sih dengan Sunwoo?

“Beneran gapapa?” Tanyanya khawatir.

Sunwoo mengangguk kepalanya sambil tersenyum cerah.

“Iyaa ish!! Yaudah yaa aku pergi dulu ada kelas, love u!!”

Pipi Haknyeon sontak merona.

“A-apa apaan sih!!” Omel haknyeon sembari menutupi pipinya yang hampir seperti kepiting rebus. Sunwoo terkekeh, manis sekali.

“Lucu ihh!! yaudah aku pergi dulu hehe ati-ati dijalan yaa awas kesandung, dadahh!!” Sunwoo mengacak rambut Haknyeon singkat sebelum berbalik pergi.

Haknyeon hanya mengangguk sambil menutupi pipinya yang semakin memerah. Sunwoo terkekeh lagi lalu berjalan pergi dan menghilang di persimpangan koridor. Hatinya terasa hangat. Melupakan kekhawatirannya beberapa menit yang lalu. Pipinya semakin merona. Ya hanya seorang kim sunwoo yang bisa membuat seorang ju kulkas haknyeon merona seperti ini.

Tapi Haknyeon tetaplah Haknyeon. Seorang tsundere boy kelas kakap yang tidak bisa menyatakan rasa sukanya secara terang-terangan seperti sunwoo. Sudah begitu dia juga tidak mudah peka dan sulit mencerna keadaan. Tapi untungnya sunwoo bisa memahami semuanya. Yaa antara memahami itu dan bersyukur. Bersyukur sampai saat ini Haknyeon tidak menaruh curiga, yaa curiga ada sesuatu yang ditutupnya rapat-rapat seperti hal kecil tadi.


Entah sudah keberapa kalinya Haknyeon mengecek ponselnya. Hampir jam lima dan sunwoo belum ada tanda-tanda datang, tak seperti biasanya.

“Mana? Katanya kayak biasanya?”

Changmin ikutan kesal saat melihat jam tangannya. Sudah jam lima lebih, biasanya sunwoo sudah datang dengan cengingiran khasnya.

“Ck! Telat kali, lo juga kenapa buntutin gua kesini hah??” Ucap haknyeon kesal.

Changmin memutar bola matanya ikutan kesal. Kan niatnya baik nemenin laki-laki ju itu, eh malah diomelin.

“Tapi ini beneran telat loh, dah lebih lima belas menit”

Haknyeon melirik ponselnya yang menyala dan benar, sudah jam 5 lebih seperempat. Perasaannya mulai tidak enak. Kemana perginya sunwoo?

“Kalian beneran janjian kan?” Tanya Changmin heran setelah menyadari perubahan mendadak mimik muka haknyeon.

Tiba-tiba tetesan air mulai turun. Haknyeon mendongak ke langit, sampai tak sadar langit menghitam karena sibuk memikirkan sunwoo. Dadanya tiba-tiba nyeri. Perasaannya berkecamuk sekarang. Ada apa sih sebenernya.

“Lo gapapa hak? Kambuh??” Tanya Changmin khawatir ketika melihat Haknyeon memegang dadanya, tepat di ulu hatinya.

Haknyeon menoleh ke Changmin sekilas lalu menggeleng. Ini bukan sakit seperti biasanya, tapi entah kenapa dadanya tiba-tiba sakit padahal dia tidak pernah telat meminum obatnya.

Hujan semakin deras. Langit mulai menghitam, diiringi semburat senja yang hanya mengintip tipis dibalik gumpalan abu-abu dilangit. Peralihan menuju malam. Nyeri di dada Haknyeon semakin parah. Changmin terus memaksanya pulang tapi entah Haknyeon merasa, dirinya masih harus tetap menunggu laki-laki kim itu datang.

Hujan bertambah deras diiringi suara burung khas senja. Jalanan didepan semakin sepi. Langit mulai menggelap. Perasaan Haknyeon semakin memburuk. Pikirannya hanya tertuju ke satu titik, kim sunwoo.

Siluet bayangan mobil samar-samar menembus derasnya hujan menjadi titik utama pandangan kedua orang di halte itu. Haknyeon sudah beranjak dari duduknya. Memastikan itu mobil laki-laki yang dari tadi mengambil seluruh pikirannya. Tapi sepertinya bukan.

Mobil berwarna biru muncul menerjang derasnya hujan. Mobil itu memelan saat mendekati halte. Haknyeon dan Changmin sudah dipastikan tengah mengamati mobil yang sepenuhnya sudah berhenti didepan mereka. Satu kata yang muncul di pikiran mereka, siapa?

Wajah yang bisa dibilang cukup familiar muncul. Menatap Haknyeon sendu dibawah payung transparan yang dia bawa. Itu eric sohn, teman satu fakultas sunwoo sekaligus teman tongkrongannya. Wajah eric begitu lusuh, lingkaran matanya tampak jelas seperti seseorang yang habis menangis.

Eric melangkahkan kakinya pelan menghampiri kedua orang itu. Ujung bibirnya perlahan naik sedikit ketika menatap seseorang yang tengah dia cari saat ini. Ju Haknyeon. Haknyeon bahkan sampai menaikkan alisnya bingung saat eric berjalan fokus kearahnya.

“Halo kak Haknyeon dan emm kak Changmin? masih kenal gua kan?”

Haknyeon otomatis mengangguk heran sambil memerhatikan kilatan cahaya di mata laki-laki sohn itu. Eric tengah menahan tangisnya. Itu terlihat sangat jelas.

“Eric kan? Anak teknik temen sunwoo??”

Eric mengangguk membenarkan lalu mengeluarkan sesuatu dari balik saku hoodienya. Haknyeon diam, masih memerhatikan eric sampai laki-laki itu menyodorkan sesuatu kearahnya.

Secarik surat terbungkus rapi dan juga sebuah kotak berwarna hitam. Haknyeon menerimanya tanpa berbicara. Menatap lekat kedua benda itu sebelum menatap Eric penuh pertanyaan.

“Mending lo buka aja” ucap eric sambil mengigit bibirnya, berusaha menahan emosinya biar tidak pecah.

Haknyeon tak merespon apapun dan langsung membuka surat itu. Baru membuka suratnya saja dia bisa menebak jika itu dari sunwoo, bau parfum ini sangat melekat dengan laki-laki kim itu. Haknyeon melanjutkan membuka surat itu, saat melihat kata pertama dia benar-benar yakin kalau itu sunwoo.

Baru membaca satu kalimat diatas dia langsung bingung. Perasaannya langsung campur aduk. Semakin banyak kalimat yang dia baca, matanya semakin memanas. Antara bingung, tak paham, marah, sedih, jadi satu.

Kalimat terakhir berakhir. Dadanya bergejolak. Matanya benar-benar berkunang sekarang. Air matanya sudah resmi jatuh. Dia menatap eric yang tengah mendongakkan kepalanya sebelum berjalan penuh emosi kearah laki-laki itu.

“Maksud lo apa?!! Gausah bercanda bangsat!!”

Satu tonjokan Haknyeon mendarat sempurna di rahang eric sampai membuat laki-laki sohn itu jatuh tersungkur. Changmin yang dari tadi diam, langsung beranjak menahan tubuh Haknyeon yang sudah sepenuhnya terisi amarah itu.

“Hiks!! Bercanda lo galucu tau bangsat!! Gamungkin Sunwoo pergi secepat ini GAMUNGKIN!!!” Teriak Haknyeon histeris. Changmin menatap lurus Eric yang tengah bersimpuh didepan haknyeon. Ada apa sih sebenernya?

“Maaf hiks maafin gua kak gua gabisa jagain sunwoo” ucap eric menahan tangisnya agar tidak pecah.

Haknyeon ikut bersimpuh. Kakinya sudah tidak kuat lagi menahan raganya. Haknyeon rapuh. Tangisnya benar-benar sudah pecah dari tadi. Sunwoo benar-benar sudah pergi. Pergi meninggalkanya. Haknyeon menunduk, berusaha menolak kenyataan pahit yang bisa dikatakan sangat mendadak ini.

Haknyeon menutup telinganya seiring tangisnya yang masih mengalir. Sakit. Dadanya juga semakin perih. Haknyeon benar-benar tidak kuat sekarang. Pandangannya sudah tidak jelas, buram. Nafasnya mulai terengah-engah. Semuanya terlihat gelap, pandangannya benar-benar menghilang sekarang sebelum sayup-sayup suara changmin dan eric juga ikut menghilang.


Haknyeon masih disini–di halte, mendongak kearah langit hitam yang dari tadi enggan menghentikan tangisnya, seperti dirinya. Rasa sakit semakin bergejolak ketika semburat bayang-bayang sunwoo, masih selalu hadir di benaknya. Sakit.

Mata haknyeon memburam. Dadanya mulai terasa nyeri, ah sepertinya penyakitnya kambuh. Haknyeon hanya tersenyum sambil berusaha melihat jelas sesuatu di jari manisnya. Sebuah cincin sederhana dengan permata bening menghiasinya. Hadiah terakhir dari sunwoo. Yaa itu benda yang berada di kotak hitam itu. Sebuah cincin yang rencananya digunakan oleh sunwoo untuk melamarnya sore itu, tapi hanya sebuah rencana. Laki-laki kim itu malah pergi meninggalkannya.

“Jahat banget lo nu hiks”

Tetes rindu sekaligus penyesalan menetes kembali. Haknyeon memukul dadanya yang semakin perih. Dia selalu tersiksa rindu ini. Bayangan sunwoo selalu menyiksanya sampai saat ini.

Matanya semakin menggelap. Pandangan matanya sudah tidak bisa fokus melihat sekitar, semuanya terlihat buram. Dadanya semakin perih. Nafasnya juga kian memendek. Ah, apa ini sudah waktunya?

“Haknyeon? Ayo pulang”

Mata Haknyeon benar-benar gelap sekarang. Dia tidak bisa melihat seseorang didepannya, tapi suara itu sangat familiar di telinganya. Itu Changmin, sahabatnya.

Haknyeon hanya bisa tersenyum. Dadanya semakin panas. Kepalanya juga memberat. Bahkan dia hanya bisa mendengar samar changmin yang sepertinya berusaha menyadarkannya. Tapi sepertinya mustahil. Sepertinya memang sudah waktunya. Waktunya untuk memperbaiki takdir abadinya dengan sang matahari. Haknyeon tersenyum, lebih cerah dari sebelumnya. Bayangan sunwoo perlahan hadir kembali sambil melayangkan senyum cerahnya seperti biasa. Haknyeon terkekeh pelan sebelum membuka suara–untuk terakhir kalinya.

“Iya habis ini pulang–” kalimatnya terjeda diiringi suara dengungan yang memenuhi gendang telinganya. Haknyeon sudah tidak bisa menahannya lagi. Sudah terlalu lama dia tersiksa seperti ini. Lelah, dia sangat ingin kembali bertemu sunwoo. Bahkan dia melihat laki-laki kim itu berada di depannya–menjemputnya dengan senyuman khasnya. Yaa sudah waktunya. Waktunya dia untuk pulang sekarang, menuju keabadian.

“Pulang, bertemu sang matahari”

“Sempiternal (adj) atau lebih dikenal dengan eternal yang berarti abadi. Sebuah kisah tentang permainan Tuhan. Kisah tetang kamu yang pergi jauh, sangat jauh. Dan aku yang mencoba menjemput takdir, takdir untuk menemuimu menuju keabadian dan aku berhasil. Berhasil menemuimu, Kim Sunwoo...” –Ju Haknyeon

—end.

You, end

–201X–

“Halo jaehyunie?”

Suara sedikit agak deep itu terdengar keluar dari ponsel dan menghangat melewati gendang telinganya. Itu suara juyeon, laki-laki yang tengah mengisi hatinya untuk saat ini–dan mungkin masa depan.

“Iya? Jadi flight malam ini??” Tanyanya sambil mencari posisi nyaman di tempat tidurnya.

“Iya sayang kan aku dah bilang” kekehan kecil terdengar dari seberang telepon. Hyunjae hanya bisa meringis kecil, malu.

“Oiya aku kangen nih, boleh liat wajah kamu?”

Hyunjae mengerutkan dahinya. Bingung, tumben sekali? Bukannya tadi sore mereka baru saja melakukan vidcall? Kok??

“Lah? Kangen lagi?” Respon hyunjae singkat.

Terdengar deheman dan juga kekehan dari balik telepon. Hyunjae hanya menggelengkan kepala kemudian menyalakan lampu tidurnya kembali. Ada aja ulah kekasihnya itu.

“Nihh” ucap hyunjae sambil mencoba mencari angle yang bagus.

“Gelap gasih ju? Aku ke balkon bentar” sambung Hyunjae lagi sambil melirik juyeon yang hanya mengangguk tanpa mengusap satu kata pun. Lagi-lagi, tumben.

“Oke dah terang” ucap hyunjae lagi sambil memposisikan ponselnya. Dirinya dengan bingkai langit bling-bling bahkan terlihat jelas dilayar. Juyeon hanya memasang wajah gemas diseberang. Sambil menyembunyikan setengah wajahnya dengan selimut.

“Lah kamu belum siap-siap?” Tanya Hyunjae, aneh padahal seingatnya satu jam lagi laki-laki itu akan terbang pulang.

“Bentar, masih ada sejaman lagi by” ucap juyeon.

“Tapi kan belum perjalanannya?! Suka banget sih buru-buru??!!!” Balas hyunjae kesal.

“Iyaiya bawel!! Btw kamu manis banget malem ini, abis makan gula berapa sendok??” Kekeh juyeon bahkan sampai matanya ikut tersenyum saat laki-laki itu tersenyum.

Hyunjae hanya menggelengkan kepala sambil menyembunyikan pipinya yang menyemu. Sudah hampir dua tahun mereka menjalani hubungan tetapi entah mengapa dia masih belum terlalu kebal dengan eyesmile laki-laki lee itu. Hatinya selalu memanas sampai membuat semburat merah dipipinya. Yahh, entah dia yang terlalu baper atau seorang lee juyeon yang terlalu menawan.

“Gemes banget sih pengen cubit pipi kamu tapi—jauh” kalimat terakhir juyeon perlahan memelan.

Hyunjae mengulum bibirnya sambil tersenyum “kan abis ini ketemu makanya cepet ke bendara nanti ketinggalan pesawat!!”

Juyeon tertawa dilayar. Lalu mengangguk dan terlihat keluar dari ranjangnya. Hyunjae menghela napas, kemudian menggelengkan kepala ketika juyeon masih saja memegang ponselnya dan terus melihatnya sambil tersenyum hangat.

“Liat jalan ju, hapenya ditaruh dulu ish ntar kesandung mampus!”

“Gapapa, pengen liat kamu bentar sebelum aku pergi”

Hyunjae mengangkat satu alisnya bingung. Juyeon masih saja tersenyum sambil menatapnya hangat, dengan tatapan ribuan arti yang tidak bisa diartikan dirinya.

“Jangan aneh-aneh ya kamu!! Cepet terbang kesini atau aku ngambek” hyunjae menggembungkan pipinya. Berusaha membuang pikiran tidak-tidaknya ke juyeon, kekasihnya itu.

Juyeon terdiam sebelum mengangguk mengiyakan. Bahkan laki-laki lee itu lagi-lagi melayangkan senyum manisnya ke hyunjae, dan lagi-lagi hyunjae tidak bisa mendeskripsikan arti tatapannya.

“Jae? coba liat bintang dibelakang kamu”

Hyunjae sontak menoleh agak keatas, mencoba melihat apa yang disuruh kekasihnya itu.

“Waw? Tumben banget bintangnya keliatan dari sini???” Ucap hyunjae antusias. Bahkan juyeon bisa melihat binaran matanya walau dari layar ponsel.

“Jae?” Ucap juyeon lirih.

“Iya kenapa?”

“Aku pengen jadi bintang deh. kalau aku jadi salah satu dari ribuan bintang disana gimana?”

Hyunjae langsung menoleh dengan tatapan tak pahamnya.

“Ngomong apa sih? Kamu jangan ngada-ngada yaa??” Omelnya dan hanya mendapat respon senyuman kecil juyeon.

“Gapapa hehe ngasal doang, tapi kalo kamu kangen aku bisa lihat mereka” tunjuk juyeon kearah langit.

“Aku ada disana, disalah satu bintang dilangit. Cari aja bintang paling redup itu aku” ucap juyeon kembali lirih. Laki-laki lee itu mengigit bibir bawahnya lalu menggeleng pelan. Eyesmilenya perlahan hadir kembali membuat pertanyaan besar dibenak hyunjae. Hyunjae masih saja diam memerhatikan. Perasaannya tiba-tiba mulai tidak enak.

“Iya aku bintang paling redup, soalnya bintang paling terang itu kamu eakk!!!”

“YAKK LEE JUYEON!! ISHH GUA KIRA KENAPA??!! BIKIN KHAWATIR AJA IHH!!!” Hyunjae langsung meledak. Juyeon tertawa ketika melihat kekasihnya itu marah-marah. Terlihat menggemaskan apalagi dengan pipi yang menggembung. Ah dia ingin sekali mencubit pipinya, sekali lagi saja–kalau bisa.

“Dahlah aku matiin aja vc–”

“Ehh jangan!!! Iyaiyaa maap bentar lagi yaa?? Aku masih pengen liat kamu” cegah juyeon membuat Hyunjae menghentikan jarinya yang hampir saja menyentuh tombol berwarna merah dilayar.

“Tapi aku serius loh, kalo kangen aku liat aja bintang disana”

“Bodoamat yaa tuan lee!! Mending siap-siap ke bandara sana nanti ketinggalan pesawat!! Dah yaa aku tutup bye!!”

“Eh say–”

Hyunjae mendengus ketika berhasil mematikan sambungan teleponnya. Dia langsung berjalan masuk kembali untuk tidur dan mengabaikan beberapa panggilan masuk lagi dari juyeon. Andai saja hyunjae mengangkat panggilan juyeon saat itu, mungkin dia masih bisa melihat senyuman juyeon lagi.


Tapi semua itu hanya sebuah penyesalan. Sekarang hyunjae hanya bisa melihat senyuman laki-laki lee itu lewat balik bingkai kaca. Dengan tangisan penuh penyesalan.

Ya lee juyeon, telah pergi untuk selamanya. Pergi meninggalkan hyunjae, sendiri. Tepat dimalam setelah melakukan panggilan video dengannya. Andai, andai saja hyunjae tidak memilih egonya dan mengangkat panggilan juyeon malam itu mungkin semuanya masih normal, atau setidaknya dia masih bisa merasakan pelukan laki-laki itu lagi.

“Andai, a-andai aja gua ga ngambek hari itu pasti gua masih bisa meluk kamu lo, ju” isakan tangis hyunjae masih saja memenuhi area krematorium yang sudah sepi.

“Ya kamu beneran jadi bintang sekarang, selamat lee juyeon!! Selamat kamu berhasil hiks tapi kamu gagal jadi bintang yang paling redup disana, mala aku yang disini yang jadi bintang redup sedangkan kamu bersinar diatas sana” teriak Hyunjae dalam kesendirian. Sakit, benar-benar sakit.

“Lee juyeon—”

Terlambat, semuanya sudah terlambat. Kini hanya tinggal penyesalan. Lee juyeon benar-benar pergi. Bintangnya pergi–menjadi bintang diatas sana, bintang paling terang. Meninggalkan meredup disini. Meredup perlahan sampai akhirnya cahayanya menghilang dan mati.

—end.

Lee juyeon. Dia adalah bintang yang paling bersinar dan redup disaat bersamaan. Bintang pertama dan juga terakhir yang saat itu bisa aku gapai. Yaa hanya untuk waktu itu, karena di waktu ini kamu hanyalah bintang jauh yang tidak mungkin aku gapai” – Lee jaehyun 202X

~✨✨✨